Kamis, 28 Maret 2013

Implementasi Pendidikan Moral dan Karakter dalam rangka Pengembangan Social Life Skill Mahasiswa


Krisis multidimensional berupa gejala kemerosotan moral (akhlak), dewasa ini bukan saja menimpa kalangan dewasa, melainkan juga telah menimpa kalangan pelajar dan mahasiswa, tunas-tunas muda harapan bangsa. Para orang tua, pendidik dan mereka yang berkecimpung dalam bidang agama dan sosial banyak yang mengeluhkan terhadap perilaku penyimpangan sosial sebagian mahasiswa yang berperilaku nakal, keras kepala, mabuk-mabukan, tawuran pelajar dan Mahasiswa, pesta obat-obatan terlarang dan penyimpangan sosial lainnya.

Disadari bahwa pembangunan karakter bangsa dihadapkan pada berbagai masalah yang sangat kompleks. Perkembangan masyarakat yang sangat dinamis sebagai akibat dari globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi tentu merupakan masalah tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Globalisasi dan hubungan antarbangsa sangat berpengaruh pada aspek sosial dan budaya, globalisasi mempengaruhi nilai-nilai solidaritas sosial seperti sikap individualistik, materialistik, hedonistik yang berimplikasi terhadap tatanan budaya masyarakat Indonesia sebagai warisan budaya bangsa seperti memudarnya rasa kebersamaan, gotong royong, melemahnya toleransi antarumat beragama, menipisnya solidaritas terhadap sesama, dan itu semua pada akhirnya akan berdampak pada berkurangnya rasa nasionalisme sebagai warga negara Indonesia. Akan tetapi, dengan menempatkan strategi pendidikan sebagai modal utama dalam pembangunan karakter sehingga masa depan bangsa ini dapat diselamatkan

Banyak faktor yang menyebabkan timbulnya prilaku sosial menyimpang dikalangan para remaja. Di antaranya dikarenakan longgarnya pegangan terhadap agama, hilanglah kekuatan pengontrol yang ada didalam dirinya. Kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh keluarga, sekolah maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan sebagaimana semestinya, Derasnya arus budaya materialistis, hedonistis dan sekularistis.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh untuk melakukan pembinaan moral bangsa karena sistem pendidikan Indonesia yang kurang memperhatikan pendidikan moral. Moral dan akhlak sangat berkaitan dengan pola pikir, sikap hidup dan perilaku manusia. Keburukan akhlak (moral hazard) sangat berpotensi memicu timbulnya perilaku-perilaku negatif. Jika akhlak dari seseorang individu buruk, maka sangat mungkin ia akan melahirkan berbagai penyimpangan perilaku sosial yang dampaknya dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University - mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda jaman yang harus diwaspadai karena jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, menurunnya etos kerja, semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan Dosen, rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara, membudayanya ketidakjujuran, dan adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama. Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di Indonesia.

Fenomena belakangan yang muncul adalah tindak kekerasan (violence), penyimpangan (deliquen), kriminal, dan eksploitasi terhadap sesama remaja karena disebabkan pada kondisi adaptatif, tekanan sosial, ekonomi dan budaya. munculnya kasus-kasus penyimpangan sosial yang melibatkan kaum remaja, baik bersifat individual maupun kolektif. Mulai dari yang ringan, sedang hingga sampai yang berat, dalam bentuk tindak pelanggaran, perilaku meyimpang dan tindak kriminalitas adalah bukti lemahnya kontrol diri (keimanan dan ketaqwaan) mereka.

Mahasiswa kita juga sedang menghadapi masalah besar dengan munculnya kelompok-kelompok umat Islam yang melakukan distorsi dalam memahami ajaran agama. Setidaknya ada tiga kelompok yang melakukan distorsi tersebut, yakni kelompok radikalisme agama, kelompok tekstualisme, dan kelompok liberalisme agama. Radikalisme agama dalam banyak kesempatan telah terbukti berdampak pada munculnya sikap ekstrimisme, di mana sikap tersebut sangat berpotensi memunculkan tindakan terorisme. Tekstualisme agama juga menimbulkan dampak buruk bagi pencitraan umat Islam. Kelompok ini terlalu rigid dan kaku memahami teks ajaran agama (nash) sehingga menimbulkan sikap tidak toleran terhadap pemahaman ajaran agama yang berbeda dari pemahaman kelompoknya. citra umat Islam yang dipersepsikan ekslusif, kaku dan tertutup tidak bisa menerima hal-hal baru. Kelompok ini juga cenderung secara frontal menyalahkan kelompok lain yang tidak sefaham dengan kelompoknya, sehingga sering menimbulkan benturan dan tidak jarang juga menimbulkan konflik di antara umat Islam. Sedangkan liberalisme agama juga tidak kalah seriusnya berakibat buruk bagi umat Islam. Berbeda dengan kelompok tekstualisme agama yang kaku dalam menafsirkan nash, kelompok liberalisme agama menuntut kebebasan tanpa batas dalam memahami nash. Pemahaman agama, arahan serta bimbingan yang kurang menjadi pemicu penyimpangan pemahaman agama.





Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan melalui pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga; satuan pendidikan; pemerintah; masyarakat termasuk teman sebaya, generasi muda, lanjut usia, media massa, pramuka, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat; kelompok strategis seperti elite struktural, elite politik, wartawan, budayawan, agamawan, tokoh adat, serta tokoh masyarakat. Adapun strategi pembangunan karakter dapat dilakukan melalui sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat serta pendekatan multidisiplin


Sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja, tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Hal tersebut mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk ditingkatkan.


Pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.


Berbagai solusi di usahakan namun nampaknya belum mampu membuahkan hasil yang signifikan. buktinya, distorsi nilai nilai islam yang berkembang di masyarakat sampai kinipun semakin melenceng jauh dari landasannya, pemuda yang diharapkan menjadi tonggak perubahan (reformasi nilai keagamaan) justru hanyut dalam berbagai permasalahan. Padahal pemuda adalah makhluk yang sedang tumbuh dan berkembang untuk menjadi dewasa di kemudian hari, yang diharapkan menjadi investasi bagi orangtua dan masyarakat dan Negara di masa mendatang.


Pendidikan Moral dan Karakter (Morale and Character Building) harus dipersiapkan secara benar dan serius dengan cara mengarahkan, membentuk dan mengembangkan potensi moral, akhlak, intelektual dan kepribadiannya. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena penyimpangan sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti Tawuran Pelajar dan Mahasiswa, Sex bebas dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan tinggi sebagai lembaga formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan moral dan karakter.


Banyaknya komunitas-komunitas sosial kemahasiswaan seperti HMI, PMII adalah sebenarnya suatu modal (stright) yang apabila di kembangkan dan di bina serta kontrol secara baik dan seimbang antara nilai-nilai tauhid indifidual maupun tauhid sosialnya, maka realita yang seperti di atas tidak perlu terjadi, yang pada gilirannya akan muncul generasi-generasi muda bangsa yang unggul dan peka terhadap nilai-nilai islami di masa yang akan datang. Dalam mengatasi permasalahan di atas di rasa perlu adanya kontekstualisasi nilai-nilai tauhid sosial dalam aktifitas organisasi kepemudaan. Pergerakan Pemuda Islam sebagai potensi pengembangan pemuda Islam yang mempunyai kekuatan pemuda (Quwwatu As-Syabab), obyektif / memberi tanpa berpihak (Al-Atho bila tahazzub), kelompok yang semangat bekerja (Qoumun Amaliyyun), gemar Berdiskusi dan syuro secara terbuka ( As-Syuro bila Istbidad), Jauh dari fanatisme golongan ( Alamiyah duuna Taashob).


Nilai-nilai yang terkandung dalam islam seharusnya cukup untuk dijadikan landasan sikap dan tindakan dalam merepons tantangan perubahan zaman yang sarat dengan berbagai problem kehidupan dari berbagai dimensinya. Setiap problema dalam kehidupan persoalan remaja dalam kehidupan kontemporer. Idealnya, nilai-nilai agama secara fungsional dapat berdampak positif dalam kehidupan dan pergaulan sosial.


Praktik pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorentasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), namun kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran juga harus berbasis pada pengembangan soft skill (interaksi sosial) sebab ini sangat penting dalam pembentukan karakter anak bangsa sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi dengan masyarakat. Pendidikan soft skill bertumpu pada pembinaan mentalitas agar peserta didik dapat menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan. Kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan keterampilan teknis (hard skill) saja, tetapi juga oleh keterampilan mengelola diri dan orang lain (soft skill).


Pendidikan karakter selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai, dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari. Konfigurasi karakter dalam konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand design tersebut.


Pendidikan karakter dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Kegiatan ekstra kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan Ekstra Kurikuler merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran untuk membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di Perguruan Tinggi. Melalui kegiatan ekstra kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.


Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di Kampus yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter diharapkan Mahasiswa mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.


Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar Kampus. Budaya Kampus merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra Kampus tersebut di mata masyarakat luas.


Sasaran pendidikan karakter adalah seluruh Civitas Akademika, meliputi para peserta didik/Mahasiswa, Dosen, Staf administrasi, dan pimpinan menjadi sasaran program ini. Melalui program ini diharapkan lulusan memiliki keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkarakter mulia, kompetensi akademik yang utuh dan terpadu, sekaligus memiliki kepribadian yang baik sesuai norma-norma dan budaya Indonesia. Pada tataran yang lebih luas, pendidikan karakter nantinya diharapkan menjadi budaya pembelajaran di Kampus.


Pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen pendidikan merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di Perguruan Tinggi. Pada tataran perguruan tinggi, kriteria pencapaian pendidikan karakter adalah terbentuknya budaya berkarakter, yaitu perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua Civitas Akademika, dan masyarakat sekitar kampus harus berlandaskan nilai-nilai tersebut.


Mengembangkan sebuah model Pendidikan Holistik Berbasis Moral dan Karakter yang memfokuskan pada pembentukan seluruh aspek dimensi manusia, sehingga dapat menjadi manusia yang bermoral dan berkarakter. Kurikulum Holistik Berbasis Karakter ini disusun berdasarkan KTSP dan diterapkan dengan menggunakan pendekatan Student Active Learning, Integrated Learning, Developmentally Appropriate Practices, Contextual Learning, Collaborative Learning, dan Multiple Intelligences yang semuanya dapat menciptakan suasana belajar yang efektif dan menyenangkan, serta dapat mengembangkan seluruh aspek dimensi manusia secara holistik. Model pendidikan holistik berbasis karakter ini telah dipakai oleh Departemen Pendidikan Nasional dalam proyek pengembangan Model Penyelenggaraan Pendidikan Berorientasi Kecakapan Kehidupan Sosial (Social Life Skill) Mahasiswa.

1 komentar:

riadi budiman mengatakan...

sharing www.pendikarmuslim.untan.ac.id