KONSEP IPS
A. Sejarah Pendidikan IPS
Pertama kali Social Studies dimasukkan secara resmi ke dalam
kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun 1827, atau sekitar
setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang ditandai dengan perubahan
penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin. Alasan dimasukannya social
studies (IPS) ke dalam kurikulum sekolah karena berbagai ekses akibat
industrialisasi di berbagai negara di belahan dunia juga terjadi, di antaranya
perubahan perilaku manusia akibat berbagai kemajuan dan ketercukupan. Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendorong industrialisasi telah menjadikan
bangsa semakin maju dan modern, tetapi juga menimbulkan dampak perilaku sosial
yang kompleks. Para ahli ilmu sosial dan pendidikan mengantisipasi berbagai
kemungkinan ekses negatif yang mungkin timbul di masyarakat akibat dampak
kemajuan tersebut. Sehingga untuk mengatasi berbagai masalah sosial di
lingkungan masyarakat tidak hanya dibutuhkan kemajuan ilmu dan pengetahuan
secara disipliner, tetapi juga dapat dilakukan melalui pendekatan program
pendidikan formal di tingkat sekolah.
Program pendidikan antar disiplin (interdiscipline) di tingkat
sekolah merupakan salah satu pendekatan yang dianggap lebih efektif dalam
rangka membentuk perilaku sosial siswa ke arah yang diharapkan. Bahkan program
pendidikan ini di samping sebagai bentuk internalisasi dan transformasi
pengetahuan juga dapat digunakan sebagai upaya mempersiapkan sumberdaya manusia
yang siap menghadapi berbagai tantangan dan problematika yang makin komplek di
masa datang.
Oleh karenanya latar belakang perlu dimasukkannya Social studies
dalam kurikulum sekolah di beberapa negara lain juga memiliki sejarah dan
alasan yang berbeda-beda. Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena
situasi dan kondisi yang menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat
terdiri dari berbagai macam ras di antaranya ras Indian yang merupakan penduduk
asli, ras kulit putih yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan
dari Afrika untuk dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Memandang perlunya pendidikan IPS bagi setiap warga negara Apresiasi
terhadap social studies (pendidikan IPS) terus bertambah dari berbagai
negara, terutama di Amerika, Inggris, dan berbagai negara di Eropa, dan baru
berkembang ke berbagai negara di Australia dan Asia termasuk Indonesia.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia juga hampir sama dengan di beberapa negara lain, di antaranya situasi
kacau dan pertentangan politik bangsa, kondisi keragaman budaya bangsa
(multikultur) yang sangat rentan terjadinya konflik. Sehingga, sebagai akibat
konflik dan situasi nasional bangsa yang tidak stabil, terlebih adanya
pemberontakan G30S/PKI dan berbagai masalah nasional lainnya di pandang perlu
memasukan program pendidikan sebagai propaganda dan penanaman nilai-nilai
sosial budaya masyarakat, berbangsa dan bernegara ke dalam kurikulum sekolah. Oleh
karenanya, dalam beberapa pertemuan ilmiah dibahas Istilah IPS (Ilmu
Pengetahuan Sosial) sebagai program pendidikan tingkat sekolah di Indonesia,
dan pertama kali muncul dalam Seminar Nasional tentang Civic Education tahun
1972 di Tawangmangu Solo Jawa Tengah. Dalam laporan seminar tersebut, muncul 3
istilah dan digunakan secara bertukar pakai, yaitu :
1. Pengetahuan Sosial
2. Studi Sosial
3. Ilmu Pengetahuan Sosial
Konsep IPS untuk pertama kalinya masuk ke dunia persekolahan di Indonesia
pada tahun 1972-1973 yang diujicobakan dalam Kurikulum Proyek Perintis Sekolah
Pembangunan (PSSP) IKIP Bandung. Kemudian secara resmi dalam kurikulum 1975
program pendidikan tentang masalah sosial dipandang tidak cukup diajarkan
melalui pelajaran sejarah dan geografi saja, maka dilakukan reduksi mata
pelajaran di tingkat SD-SMA untuk beberapa mata pelajaran ilmu sosial yang
serumpun digabung ke dalam mata pelajaran IPS. Oleh karena itu, pemberlakuan
istilah IPS (social studies) dalam kurikulum 1975 tersebut, dapat
dikatakan sebagai kelahiran IPS secara resmi di Indonesia.
Sejak pemerintahan Orde Baru keadaan tenang, pemerintah melancarkan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim
Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam
bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1.
Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan kesempatan belajar.
2.
Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3.
Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan.
4.
Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber daya dan
dana.
5.
Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga produktif bagi
kepentingan pembangunan nasional.
Oleh karena itu, upaya pembangunan sektor pendidikan oleh pemerintah menjadi
prioritas. Program pembangunan pendidikan bidang sosial semakin ditingkatkan
untuk mengatasi dan menanamkan kewarganegaraan serta cinta tanah air Indonesia.
Upaya memasukan materi ilmu-ilmu sosial dan humaniora ke dalam kurikulum
sekolah di Indonesia disajikan dalam mata
pelajaran dan bidang studi/ jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) secara
resmi pada kurikulum 1975. Kurikulum ini merupakan perwujudan dari perubahan
orientasi pada pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, bertujuan bahwa
pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati,
kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani,
moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.
Isi pendidikan IPS diarahkan pada kegiatan mempertinggi kecerdasan dan
keterampilan, serta mengembangkan fisik yang sehat dan kuat. Kurikulum
pendidikan 1975 menggunakan pendekatan-pendekatan di antaranya sebagai berikut
:
1.
Berorientasi pada tujuan
2.
Menganut pendekatan integratif
3.
Menekankan kepada efisiensi dan efektivitas dalam hal daya dan waktu.
4.
Menganut pendekatan sistem instruksional yang dikenal dengan Prosedur
5.
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
6.
Dipengaruhi psikologi tingkah laku dengan menekankan kepada stimulus respon
dan latihan.
Konsep pendidikan IPS tersebut lalu memberi inspirasi terhadap kurikulum
1975 yang menampilkan empat profil, yaitu :
1.
Pendidikan Moral Pancasila menggantikan Kewargaan Negara sebagai bentuk
pendidikan IPS khusus.
2.
Pendidikan IPS terpadu untuk SD
3.
Pendidikan IPS terkonfederasi untuk SMP yang menempatkan IPS sebagai konsep
peyung untuk sejarah, geografi dan ekonomi koperasi.
4.
Pendidikan IPS terisah-pisah yang mencakup mata pelajaran sejarah, ekonomi
dan geografi untuk SMA, atau sejarah dan geografi untuk SPG, dan IPS (ekonomi
dan sejarah) untuk SMEA /SMK..
Konsep pendidikan IPS seperti itu tetap dipertahankan dalam Kurikulum 1984
yang secara konseptual merupakan penyempurnaan dari Kurikulum 1975 khususnya
dalam aktualisasi materi, seperti masuknya Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila (P4) sebagai materi pokok PMP. DalamKurikulum 1984, PPKn merupakan
mata pelajaran sosial khusus yang wajib diikuti semua siswa di SD, SMP dan SMU.
Sedangkan mata pelajaran IPS diwujudkan dalam :
1.
Pendidikan IPS terpadu di SD kelas I-VI.
2.
Pendidikan IPS terkonfederasi di SLTP yang mencakup geografi, sejarah
dan ekonomi koperasi.
3.
Pendidikan IPS terpisah di SMU yang meliputi Sejarah Nasional dan Sejarah
Umum di kelas I-II; Ekonomi dan Geografi di kelas I-II; Sejarah Budaya di kelas
III program IPS.
Dimensi konseptual mengenai pendidikan IPS telah berulang kali dibahas
dalam rangkaian pertemuan ilmiah, yakni pertemuan HISPISI pertama di Bandung
tahun 1989, Forum Komunikasi Pimpinan HIPS di Yogyakarta tahun 1991, di Padang
tahun 1992, di Ujung Pandang tahun 1993, Konvensi Pendidikan kedua di Medan
tahun 1992. Salah satu materi yang selalu menjadi agenda pembahasan ialah
mengenai konsep PIPS.
Dalam pertemuan Ujung Pandang, M. Numan Soemantri, pakar dan ketua HISPISI
menegaskan adanya dua versi PIPS sebagaimana dirumuskan dalam pertemuan di
Yogyakarta, yaitu :
a. Versi PIPS untuk Pendidikan Dasar dan
Menengah. PIPS adalah penyederhanaan, adaptasi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial
dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang duorganisir dan disajikan
secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan.
b. Versi PIPS untuk Jurusan Pendidikan
IPS-IKIP. PIPS adalah seleksi dari disiplin Ilmu-ilmu Sosial dan humaniora
serta kegiatan dasar manusia yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan
psikologis untuk tujuan pendidikan.
PIPS untuk tingkat perguruan tinggi pendidikan Guru IPS (eks IKIP, FKIP,
STKIP),direkonseptualisasikan sebagai pendidikan disiplin ilmu, sehingga
menjadi Pendidikan Disiplin Ilmu Pengetahuan Sosial, seperti pendidikan
Geografi, Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan sosiologi,
Pendidikan Sejarah dsb).
Bentuk keseriusan ahli pendidikan dan ahli ilmu-ilmu sosial khususnya
mereka yang memiliki komitmen terhadap social studies atau pendidikan
IPS sebagai program pendidikan di tingkat sekolah, maka mereka berusaha untuk
memasukkan ilmu-ilmu sosial ke dalam kurikulum sekolah lebih jelas lagi. Namun
karena tidak mungkin semua disiplin ilmu sosial diajarkan di tingkat sekolah,
maka kurikulum ilmu sosial itu disajikan secara terintegrasi atau
interdisipliner ke dalam kurikulum IPS (social studies). Jadi untuk
program pendidikan ilmu-ilmu sosial di tingkat pendidikan dasar dan
menengah harus sudah mulai di ajarkan. Program pendidikan dasar di SD dan SMP
penyajiannya secara terpadu penuh, sementara itu untuk pembelajaran IPS di
tingkat SMA/MA dan SMEA penyajiannya bisa dilakukan secara terpisah antar
cabang ilmu-ilmu sosial, tetapi tetap memperhatikan keterhubungannya antara
ilmu sosial yang satu dengan ilmu sosial lainnya, terutama dalam rumpun jurusan
IPS di SMA dan juga di SMEA. Sementara itu, pada tingkat perguruan tinggi
pendidikan ilmu-ilmu sosial disajikan secara terpisah atau fakultatif,
seperti FE, FH, FISIP dsb. Namun untuk pendidikan IPS di FKIP/IKIP/STKIP yang
mempersiapkan calon guru atau mendidik calon guru di tingkat sekolah, maka
pendidikan IPS di berikan secara interdisipliner dan juga secara disipliner.
Secara interdisipliner karena ilmu yang diperoleh nantinya untuk program
pembelajaran untuk usia anak sekolah, dan secara disipliner karena sebagai guru
juga harus menguasai ilmu yang diajarkan.
Bertitik tolak dari pemikiran mengenai kedudukan konseptual Pendidikan IPS,
dapat diidentifikasi sekolah objek telaah dari system pendidikan IPS, yaitu :
1.
Karakteristik potensi dan perilaku belajar siswa SD, SLTP dan SMU.
2.
Karakteristik potensi dan perilaku belajar mahasiswa FPIPS-IKIP atau
JPIPS-STKIP/FKIP.
3.
Kurikulum dan bahan belajar IPS SD, SLTP dan SMU.
4.
Disiplin ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin lain yang relevan.
5.
Teori, prinsip, strategi, media serta evaluasi pembelajaran IPS.
6.
Masalah-masalah sosial, ilmu pengetahuan dan teknilogi yang berdampak
sosial.
7.
Norma agama yang melandasi dan memperkuat profesionalisme.
Kurikulum 1994 dilaksanakan secara bertahap mulai ajaran 1994-1995
merupakan pembenahan atas pelaksanaan kurikulum 1984 setelah memperhatikan
tuntutan perkembangan dan keadaan masyarakat saat itu, khususnya yang
menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, kebutuhan
pembangunan dan gencarnya arus globalisasi, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum
1984 itu sendiri. Upaya pembaharuan kurikulum pendidikan nampak saat
diadakannya serangkaian Rapat Kerja Nasional Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan dari tahun 1986 sampai 1989.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pembenahan kurikulum ini juga didorong oleh amanat GBHN 1988 yang intinya; 1) perlunya diteruskan upaya peningkatan mutu pendidikan di berbagai jenis dan jenjang pendidikan, 2) perlunya persiapan perluasan wajib belajar pendidikan dasar dari enam tahun menjadi sembilan tahun, dan 3) perlunya segera dilahirkan undang-undang yang mengatur tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yang
dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Namun pengembangan
kurikulum IPS diusulkan menjadi Pengetahuan Sosial untuk merespon secara
positif berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi program pembelajaran Pengetahuan
Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat. Di samping itu, khusus dalam
kurikulum SD, IPS pernah diusulkan digabung dengan Pendidikan kewarganegaraan
yaitu menjadi pendidikan kewrganegaraan dan pengetahuan sosial (PKnPS), namun
akhirnya kurikulum disempurnakan ke dalam kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP) tahun 2006, antara IPS dan PKn dipisahkan kembali. Hal ini memperhatikan
berbagai masukan dan kritik ahli pendidikan serta kepentingan pendidikan
nasional dan politik bangsa yaitu perlunya pendidikan kewarganegaraan bangsa,
maka antara IPS dan PKn meskipun tujuan dan kajiannya adalah sama yaitu
membentuk warganegara yang baik, maka PKn tetap diajarkan sebagai mata
pelajaran di sekolah secara terpisah dengan IPS. Jadi wajarlah kalau mata
pelajaran PKn hanya ada di Indonesia, sementara di negara lain disebut Civic
education . IPS (social studies) dalam kurikulum tingkat satuan
pendidikan di Indonesia terus melakukan beberapa tinjauan dan kritik terutama
untuk perbaikan IPS sebagai program pendidikan ilmu sosial di tingkat sekolah
melalui seminar dan lokakarya serta pertemuan ilmiah bidang IPS lainnya,
terutama oleh kelompok pakar HISPISI (Himpunan sarjana pendidikan ilmu sosial
Indonesia) dalam kongresnya di beberapa tempat di Indonesia.
Mempelajari Konsep dasar IPS berisi tentang konsep, hakikat, dan karakteristik
pendidikan IPS. Dengan mempelajari materi Konsep dasar IPS ini, diharapkan
dapat menjelaskan konsep-konsep IPS yang berpengaruh terhadap kehidupan masa
kini dan masa yang akan datang secara kritis dan kreatif. Pembahasan materi ini
menerapkan pendekatan antar disiplin yang mengintegrasikan ilmu-ilmu sosial dan
humaniora. Adapun media yang digunakan adalah bahan ajar cetak dan non cetak
(web).
Sebagai guru/calon guru hendaknya menguasai materi IPS sebagai program pendidikan.
Untuk membantu menguasai materi tersebut maka dalam Konsep Pendidikan IPS,
disajikan pembahasan hal-hal pokok dan latihan sebagai berikut :
1. konsep pendidikan IPS
2. hakikat pendidikan IPS
3. karakteristik pendidikan IPS
B. Perbedaan Pendidikan IPS
Perbedaan Pendidikan Indonesia dengan Negara lain Negara yang sudah
mengembangkan keterampilan dalam pendidikan IPS
1.
Perbedaan pendidikan IPS Indonesia dengan Amerika Serikat
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan
masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau
yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 di mana pada
saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya
kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi
satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para
pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk
yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam
kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan
penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National
Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social
studies dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah
menengah di Amerika Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir
merupakan semacam ramuan dari mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Jadi Social studies yang dalam istilah Indonesianya disebut
Pendidikan IPS, dalam perjuangannya tentang eksistensi terdapat dalam ”The
National Herbart Society papers of 1896-1897” yang menegaskan bahwa Social
Studies sebagai delimiting the social sciences for pedagogical use (upaya
membatasi ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan pedagogik/ mendidik).
Memperhatikan pentingnya social studies bagi generasi muda, istilah IPS
(social studies) ini kemudian mulai digunakan oleh beberapa negara
bagian di Inggris dan Amerika untuk mengembangkan program pendidikan ilmu-ilmu
sosial di tingkat sekolah. Pengertian ini juga dipakai sebagai dasar
dalam dokumen ”Statement of the Chairman of Commitee on Social studies”
yang dikeluarkan oleh comittee on Social Studies (CSS) tahun 1913. Dalam
dokumen tersebut dinyatakan bahwa social studies sebagai specific
field to utilization of social sciences data as a force in the improvement of
human welfare (bidang khusus dalam pemanfaatan data ilmu-ilmu sosial
sebagai tenaga dalam memperbaiki kesejahteraan umat manusia).
Sebagai upaya melestarikan program pendidikan IPS dalam kurikulum sekolah,
maka beberapa kelompok pakar yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan
ilmu-ilmu sosial di tingkat sekolah mengembangkan usahanya agar social
studies bisa diaplikasikan untuk program pendidikan di tingkat sekolah
dengan membentuk organisasi profesi social studies. Kemudian pada tahun
1921, berdirilah ”National Council for the Social Studies” (NCSS),
sebuah organisasi profesional yang secara khusus membina dan
mengembangkan social studies pada tingkat pendidikan dasar dan
menengah serta keterkaitannya dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin
ilmu pendidikan sebagai program pendidikan syntectic.
Pada waktu berdirinya NCSS hanya bertugas sebagai organisasi yang akan
memaksimalkan hasil-hasil pendidikan bagi tujuan kewarganegaraan yang sudah
dicapai oleh CSS sebelumnya. Sehingga baru setelah 14 tahun kemudian NCSS
mengeluarkan karya berbasis intelektual-keilmuan. Dalam perkembangannya
banyak naskah dan penelitian tentang social studies, yang mengharapkan
perlunya perhatian terhadap pendidikan anak tentang social studies,
dengan harapan dapat membantu anak didik menjadi warga negara yang baik.
Pada pertemuan pertama tahun 1935, lahirlah kesepakatan yang dikeluarkan NCSS
dengan menegaskan bahwa “Social sciences as the core of the curriculum”(kurikulum
IPS bersumber dari ilmu-ilmu sosial).
Pada perkembangan selanjutnya, terutama setelah berdirinya NCSS, pengertian
social studies yang paling berpengaruh hingga akhir abad 20 adalah
definisi yang dikemukakan oleh Edgar Wesley pada tahun 1937. Wesley
menyatakan bahwa “the social studies are the social sciences simplified for
pedagogical purposes”. Definisi ini menjadi lebih populer saat itu karena
kemudian dijadikan definisi “resmi” social studies oleh “the united
states of education’s standard terminology for curriculum and instruction”
hingga NCSS mengeluarkan definisi resmi yang membawa social studies
sebagai kajian yang terintegrasi, dan mencakup disiplin ilmu yang semakin luas.
Sehingga pada tahun 1993 NCSS merumuskan social studies sebagai
berikut:
Social studies is the integrated study of the social sciences and
humanities to promote civic competence. Within the school program,social
studies provides coordinated,systematic study drawing upon such diciplines as
antrophology, archaeology, economics, geography, history, law, philosophy,
political science, psychology, religion, and sosiology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary
purpose of social studies is to help young people develop the ability to make
informed and reasoned decisions for the public good as citiziens of a
culturally diverse, democratic society in an interdependent world.
Jerman
Sebenarnya banyak sekali perbedaan antara pendidikan di Jerman dengan
Indonesia. Dari sisi sistem saja, pendidikan itu sudah berbeda. Di Jerman,
jenjang pendidikan Pra Perguruan Tinggi itu hanya ada 2 macam, yaitu pendidikan
dasar (Grundschule) dan pendidikan lanjutan (Gymnasium, Realschule,
atau Berufschule). Kalau di Indonesia, pendidikan Pra Perguruan Tinggi
ada 3 macam, yaitu SD-SMP-SMA. Dari sisi waktu juga berbeda, di Indonesia
memerlukan waktu 12 tahun (normal) sebelum ke jenjang Perguruan Tinggi,
sedangkan di Jerman butuh waktu 13 tahun.
Yang ingin saya bahas bukan masalah “teknis” pendidikan seperti di atas.
Saya tertarik dengan tulisan I Made Wiryana dalam
sebuah milis tentang pendidikan di Jerman. Dia menuliskan bahwa konsep pendidikan
di Jerman adalah cenderung pemerataan hak mendapatkan pendidikan. Ini berlaku
untuk orang asing atau orang Jerman yang tinggal di Jerman. Artinya secara
konsep yang diutamakan adalah pemerataan pendidikan daripada pencapaian
puncak-puncak hasil pendidikan.
Dia memberikan contoh bahwa ketika hasil PISA rendah, seluruh Jerman panik. Akan
tetapi, ketika ada anak-anak Jerman yang dapat hadiah “the best xxxx dalam
lomba sains”, orang menganggap hal itu biasa saja. Hal ini terbalik dengan
Indonesia yang sangat bangga terhadap prestasi anak bangsa yang mengharumkan
nama Indonesia di dunia.
Contoh lain adalah jika karier anda sebagai orang lembaga pendidikan ingin
maju di Jerman, anda harus pindah ke kampus-kampus kecil (di kota kecil).
Beliau menjelaskan bahwa prinsip ini membuat pemerataan kualitas pendidikan
terjadi secara alami. Dan lagi-lagi, ini berbeda dengan Indonesia. Orang
Indonesia cenderung memiliki kebiasaan “pintar kumpul dengan pintar” dan “kaya
kumpul dengan kaya”.
Melihat kondisi di atas, membuat saya
tersenyum. Saya yakin kualitas pendidikan Indonesia bisa meningkat drastis.
Syarat utama hanya 2 macam, pemeratan
pendidikan dan penghargaan terhadap prestasi pendidikan. Itu saja. Bila
kedua syarat terpenuhi, saya yakin semakin banyak anak-anak Indonesia yang
berprestasi pada ajang internasional dan semua anak-anak Indonesia bisa masuk
ke bangku sekolah.
Sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di Inggris
dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum sekolah
juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan, khususnya pakar social
studies. Hal ini disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah
dasar dan menengah, para siswa: menjadi warga negara yang baik, dalam
arti mengetahui dan menjalankan hak-hak dan kewajibannya;
dapat hidup bermasyarakat secara seimbang, dalam arti memperhatikan
kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, para siswa
tidak perlu harus menunggu kuliah atau belajar Ilmu-ilmu Sosial di perguruan
tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat bekal pelajaran social
studies di sekolah dasar dan menengah.
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum
sekolah adalah karena kebutuhan siswa sekolah, di mana kemampuan siswa sangat
menentukan dalam pemilihan program pendidikan lanjut dan pengorganisasian
materi social studies.
Agar materi pelajaran social studies lebih menarik dan lebih mudah
dicerna oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari
kehidupan nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari
pengalaman pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat
sekitarnya. Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih
besar bagi para siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari
Ilmu-ilmu Sosial.
3. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia
dengan Curriculum New Zealand
Kurikulum Berbasis
Kompetensi dalam IPS di New Zealand menekankan pada penguasaan disiplin ilmu
sosial (Sejarah, geografi, ilmu politik, civics, ekonomi) juga
mengembangkan delapan ketrampilan penting (essensial skills) yang
juga diajarkan pada semua mata pelajaran dan pada semua jenjang
pendidikan di New Zealand, meliputi :
a. komunikasi
b. kemampuan dalam
matematika
c. informasi
d. pemecahan masalah
e. manajemen diri
dan kompetitif
f. sosial dan
koperasi
g. phisik
h. pekerjaan dan studi
Kedelapan kemampuan esensial (essential skills) tersebut
diramu dalam proses belajar PIPS melalui inkuiri, penggalian nilai
(values exploration), dan pengambilan keputusan sosial (social
decision making).
4. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia dengan Curriculum
Canada
Dasar perubahan kurikulum dalan studi sosial (IPS) dan sejarah Canada
merupakan bagian dari satu rangkaian perubahan kurikulumdalam studi sosial yang
dikerjakan oleh saskatchewan pendidikan. Proses pengembangan
kurikulum dimulai dengan penetapaan gugus tugas studi sosial (IPS) tahun
1981. Gugus tugas terdiri dari orang-orang refresentatif dari berbagai
sektor masyarakat skatchewan. Mereka mensurvei pendapat umum dan atas dasar
penemuan nya dihasilkan suatu laporan yang menguraikan suatu filosofi untuk
pendidikan IPS. Di dalam
kurikulum Canada dikembangkan core curriculum yang merupakan kemampuan dasar
yang menjadi landasan pembentukan kurikulum sekolah di Kanada dari jenjang Kidergarten, Elementery level, middle level sampai secondary level.
Terdapat dua komponen penting dalam core curicullum yaitu Required
Areas of Study dan Common Essential Learning. Pengembangan core
curicullum menjadi Required Areas of Study menjadi tujuh yaitu : language Art, Mathematics, Science, Social
studies, Health education, art education dan physical education.
Pengembangan Common essential learning (CELS) atau kompetensi yag harus
dikembangkan terus menerus dan oleh semua mata pelajaran, yang meliputi
enam kemampuan, yaitu komunikasi (communication), kemampuan dalam
matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical
and creative thinking), melek teknologi (technology literacy),
nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and
skills), belajar mandiri (independent learning).
a.
Komunikasi (communication), difokuskan
pada meningkatkan pemahaman siswa terhadap bahasa yang digunakan di dalam
setiap bidang studi.
b.
Kemampuan dalam matematika (numeracy),
melibatkan dan membantu siswa mengembangkan tingkatan kompetensi yang akan
mendorong mereka untuk menggunakan konsep matematika di dalam kehidupan
sehari-hari.
c.
Berpikir kritis dan kreatif (critical and creative
thinking), dimaksudkan untuk membantu para siswa mengembangkan kemampuan
untuk menciptakan dan dengan kritis mengevaluasi gagasan, proses, pengalaman,
dan object berhubungan dengan area masing-masing bidang studi.
d.
Melek teknologi (technology literacy), membantu
siswa mengapresiasi bahwa system teknologi merupakan integral dalam system
social dan tidak bisa dipisahkan dari budaya di dalamnya yang mereka bentuk.
e.
Nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal
and social values and skills berhadapan dengan pribadi, moral,
sosial, dan aspek budaya dari tiap sekolah dan mempunyai sasaran utama
mengembangkan warga negara yang penuh cinta kasih dan bertanggung jawab, yang
memahami dasar pemikiran (rasional) untuk pengakuan moral.
f.
Belajar mandiri (independent learning),
melibatkan siswa pada upaya untuk menciptakan peluang/kesempatan dan pengalaman
yang diperlukan siswa untuk menjadi mampu (capable), percaya diri, motivasi
diri, dan pembelajar sepanjang hayat yang melihat belajar sebagai kegiatan
pemberdayaan potensi diri dan sosial paling berharga.
Dalam kurikulum
Kanada, Social Studies merupakan salah satu dari tujuh mata pelajaran yang
harus diajarkan di sekolah mulai dari TK sampai SMA (Required Areas of
Study). Dimana dalam social studies ini pun harus dikembangkan keamampuan
siswa untuk berkomunikasi, matematika, berpikir kritis dan kreatif,
melek teknologi, nilai dan keterampilan personal dan sosial, dan
belajar mandiri sebagai Common essential learning (CELS).
5. Perbedaan Pendidikan IPS Indonesia
dengan Curriculum Hongkong
Arti Pendidikan Kecakapan Hidup adalah pendidikan kemampuan,
kesanggupan dan keterampilan yang diperlukan oleh seseorang untuk menjaga
kelangsungan hidup dan pengembangan dirinya. Kemampuan mencakup daya pikir,
daya kalbu, daya raga. Kesanggupan sangat dipengaruhi oleh kepentingan yaitu
sesuatu yang dianggap penting oleh siapa dalam bentuk apa. Keterampilan adalah
kecepatan, kecekatan, dan ketepatan orang yang terampil mengerjakan sesuatu
adalah orang cepat, cekat, dan tepat dalam mengerjakan sesuatu.
Tujuan pendidikan Kecakapan hidup adalah untuk meningkatkan relevansi
pendidikan dengan nilai-nilai kehidupan nyata, baik nilai yang bersifat
preservatif maupun progresif. Tegasnya tujuan pendidikan kecakapan hidup adalah
mempersiapkan peserta didik agar memiliki kemampuan, kesanggupan, dan
keterampilan yang diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan dirinya. Lebih
spesifiknya, pendidikan kecakapan hidup dna kelangsungan hidup memberdayakan
aset kualitas batiniyah, sikap dan perbuatan lahiriyah peserta didik melalui
pengenalan nilai (logos), penghayatan nilai (etos), dan penerapan nilai (patos)
sehingga dapat digunakan untuk menjaga kelangsungan hidup dan memberi bekal
dasar dan latihan-latihan yang dilakukan secara benar mengenai kehidupan
sehari-hari yang dapat memapukan peserta didik untuk berfungsi menghadapi masa
depan yang penuh persaingan dan kolaborasi sekaligus; dan memfasilitasi peserta
didik dalam memecahkan permasalahan hidup yang dihadapi sehari-hari atau yang
akan dihadapi , misal menjaga kesehatan mental dan fisikm mencari nafkah, dan
memilih serta mengembangkan karir.
B. Kurikulum IPS Berbasis Kompetensi
Secara teoritis atau
konseptual, kurikulum berdasarkan kompetensi masuk ke dalam kelompok yang
dinamakan ”outcomes-based curriculum” (Olivia, 1997:521). Dalam
bentuknya yang masih awal, Olia (1997:512) mengemukakan bahwa perkembangan ide
kurikulum berbasis kompetensi ”outcomes-based” dapat ditelusuri sejauh
pertengahan abad ke XIX (sembilan belas) oleh seorang pendidik terkenal Herbert
Spencer. Perkembangan ide kurikulum berbasis ”outcomess” di Amerika
Serikat dapat dikatakan pada awal abad ke-XX yaitu tahun 1918 atau menurut
Tuxworth (Burke, 1995:10) pada tahu 1920-an. Pemikiran itu kemudian diikuti
oleh Ralph Tyler tahun 1950 yang mengembangkan proyek kurikulum yang bertahap
nasional dan menjadi terkenal dengan nama ”mastery learning and
competency based” oleh Benjamin Bloom.
Dalam perkembangan
pemikiran tentang kompetensi, lebih banyak digunakan untuk kurikulum vokasional
dan profesional sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan dunia
industri, yaitu kebutuhan akan tenaga kerja yang mampu melakukan pekerjaan
ketika yang bersangkutan diterima di tempat kerja (Loon, 2001:2; Cinterfor,
2001:1; Tuxworth, 1995:11). Sebenarnya tidak ada masalah dengan kurikulum IPS
yang berdasarkan kompetensi sepajang orientasi fislosofis kurikulum IPS berubah
dari esensialisme dan perenialisme ke rekonstruksi sosial. Kurikulum IPS harus
mampu mengembangkan kompetensi yang dipelrukan peserta didik untuk hidup di
masyarakatnya berdasarkan permasalahan sosial yang ada.
Kata kompetensi
diartikan sebagai kemampuan yang harus dikuasai seorang peserta didik. Becker
(1977) dan Gordon (1988) mengemukakan bahwa kompetensi meliputi ”pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, nilai, sikap, dan minat”. Dalam pengertian yang lebih konseptual
McAsham (1981) merumuskan kompetensi sebagai berikut: ”Competency is
knowledge, skills, and abilities that a person can learn and develop, which
become parts of his or her being ti the extent he or she can satisfactorily
perform particular cognitive, affective, and psychomotor behavior”.
Pengertian di atas sejalan dengan pendapat Wolf (1995), Debling (1995, Kupper
dan Palthe (wolf, 1995:40) mengatakan bahwa esensi dari pengertian “is the
ability to perform”. Debling (1995:80) mengatakan “competence pertains to
the ability to perform the activities within a function or an occupational area
to the level of performance expected in employment”. Kupper dan Palthe (Wolf,
1995:40) mengatakan “competencies as the ability of a student/worker enabling
him to accomplish tasks adequately, to find solutions and to realize them in
work situations.
Dengan demikian kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum yang pada
tahap perecanaan (terutama dalam tahap perkembangan ide) dipengaruhi oleh
kemungkinan-kemungkinan kemampuan pendekatan kompetensi dalam menjawab
tantangan yang muncul di masyarakat. Oleh karena itu
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengembangan kurikulum
berbasis kompetensi, yaitu:
a. Pada
waktu mengembangkan atau megadopsi pemikiran kurikulum berbasis kompetensi maka
pengembang kurikulkum harus mengenal benar landasan filosofis, kekuatan dan
kelemahan pendekatan kompetensi dalam menjawab tantangan serta jangkauan
validitas pendekatan tersebut ke masa depan. Qullen (2001) mengatakan ”the firs part
of the process of integration is to understand the theoritical and practical
basis of a competency-based educational system”.
b. Kompetensi bersifat
terus berkembang sesuai dengan tuntutan dunia kerja dan perubahan masyarakat.
Perkembangan tuntutan dunia kerja atau permasalahan yang berkembang di
masyarakat menghendaki adanya kompetensi baru yang harus dikuasai oleh peserta
didik. Kupper dan Palthe (Wolf, 1995:45) mengingatkan hal ini dengan mengatakan
bahwa dalam penentuan kompetensi suatu lembaga pendidikan haruslah ”has
regular contacts with industry and busiess regarding the qualifications
expected from our graduates”. Sedangkan Ferguson (2000:1) menyuarakan
kepentingan masyarakat dan tidak membatasi diri pad dunia industri, ”when
designing a course or a program using an outcomes based curriculum framework,
the educator/designer begins by envisioning what students need to be able to do
in their lives and what part of that is the responsibility of the course or
program”. Kurikulum IPS yang berdasarkan kompetensi harus mengarah kepada what
the students need to be able to do di masyarakat. Kompetensi bersifat
dinamis dan berkembang terus sesuai dnegan perkembangan dalam berbagai bidang
kehidupan.
c. Memperhatikan prinsip ”no one course is
strictly responsible for any one competency” dalam pengembangan program
atau dokumen kurikulum (Indiana University Medical Science Program). Artinya
seperti yang dikembangkan oleh Canada, maka ada essential learning abilities
atau kompetensi yag harus dikembangkan terus menerus dan oleh banyak mata
pelajaran.
Kompetensi yang dikembangkan
dalam kurikulum IPS harus bersifat terus menerus (developmental) dan ini
merupakan suatu prinsip penting ketika menerjemahkan dokumen kurikulum menjadi
suatu proses pembelajaran.
C. Model Pengembangan IPS
IPS merupakan
seperangkat fakta, peristiwa, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan perilaku dan
tindakan manusia untuk membangun dirinya, masyarakatnya, bangsanya, dan
lingkungannya berdasarkan pada pengalaman masa lalu yang dapat dimaknai untuk
masa kini, dan diantisiapsi untuk masa yang akan datang. Tujuan Pengembangan IPS adalah sebagai berikut :
a. Mengembangkan
pengetahuan kesosilogian, kegeografian, keekonomian, dan kesejarahan.
b. Mengembngkan kemampuan
berpikir, inquiri, pemecahana masalah, dan keterampilan sosial
c. Membangun komitmen
dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan.
d. Meningkatkan kemampuan
berkomuniaksi dan bekerjasama dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal,
nasional, dan global.
Untuk mencapai tujuan
tersebut dikembangkan standar kompetensi lintas kurikulum yang merupakan
kecakapan untuk hidup (lifeskills) dan belajar sepanjang hayat yang
dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui pengalaman belajar.
Standar kompetensi lintas kurikulum ini meliputi:
a.
memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak
dan kewajiban, saling menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan
agama yang dianutnya.
b.
Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan
mengkomuniaksikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan orang
lain.
c.
Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep,
teknik-teknik, pola, struktur, dan hubungan.
d.
Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan
informasi yang diperlukan dari berbagai sumber.
e.
Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk
hidup, dan teknologi, dna
menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil
keputusan yang tepat.
f.
Beraprtisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif
dalam masyarakat dan budaya global berdasarkan pemahaman kontkes budaya, geografis,
dan historis.
g.
Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan
intelektual, serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan
pribadi menuju masyarakat beradab.
h.
Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan
mempertimbangkan potensi dan peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.
i.
Menunjukkan motivasi belajar, percaya diri, bekerja
amndiri, dna bekerja sama dengan orang lain.
D. Standar Kompetensi Bahan
kajian IPS
1)
Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi
tentang sistem sosial dan budaya serta menerapkannya untuk :
a.
Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang
timbul sebagai akibat perbedaan yang ada di masyarakat.
b.
Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan
perubahan sosial
c.
Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam
masyarakat multikultur.
2)
Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi
tentang manusia, tempat dan lingkungan serta menerapkannya untuk:
a.
Menganalisis proses kejadian, interaksi dan saling
ketergantungan antara gejala alam dan kehidupan di muka bumi dalam dimensi
ruang dan waktu.
b.
Terampil dalam memperoleh, mengolah, dan menyajikan
informasi geografis.
3)
Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi
tentang perilaku ekonomi dan Kejahteraan serta menerapkannya untuk:
a.
Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam
memanfaatkan sumber daya ekonomi.
b.
Menumbuhkan jiwa, sikap, dan perilaku kewirausahaan
c.
Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga
ekonomi.
d.
Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.
4)
Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi
tentang waktu, keberlanjutan, dan perubahan serta menerapkannya untuk:
a.
Menganalisis keterkaitan antara manusia, waktu,
tempat, dan kejadian.
b.
Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan
memprediksi amsa depan.
c.
Menghargai berbagai erbedaan serta keragaman sosial,
kulturan, agama, etnis, dan politik dalam masyarakat dari pengalaman belajar
peristiwa sejarah.
Standar
kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar. Untuk menjamin bahwa
kompentensi dasar yang telah ditentukan dapat dicapai maka perlu prinsip
ketuntasan belajar (mastery learning) dalam pembelajaran dan penilaian.
Sebenarnya KBK itu sendiri adalah kurikulum ideal yang tidak saja akan berhasil
meningkatkan kualitas pendidikan di negara kita, tetapi juga menuntut para
praktisi pendidikan khususnya para guru untuk mempersiapkan seluruh potensi
Guru itu sendiri. Tujuan diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi ini adalah
untuk menghasilkan terjadinya demokratisasi pendidikan.Diharapkan hasil keluaran
KBK dapat menciptakan lulusan yang menghargai keberagaman (misalnya dalam
perbedaan pendapat, agama, ras maupun budaya). Pengkonstuksian dan penyusunan
pengetahuan berlangsung dan dilakukan dari, oleh dan untuk para peserta didik.
Dengan demikian, dalam penyusunan rencana pembelajaran, seorang guru harus
mampu menyusunnya sehingga kelas dapat berlangsung dalam Susana fun (menyenangkan)
demokratis dan terbuka.
Pendekatan pembelajaran
yang dapat dilakukan adalah pendekatan kontruktivisme, sains, teknologi dan
pendekatan inkuiri secara utuh. Keutuhan suatu materi pelajaran tentu
parameternya harus komprehensif. Misalnya guru harus cerdas , tepat seta
efektif dalam menafsirkan dan mengimplementasikan KBK yang menjamin tercapainya
kompetensi-kompetensi lulusan. Dengan ketiga pola pendekatan tersebut di atas,
para peserta didik diberikan kesempatan untuk menemukan suatu konsep dengan
menggunakan kompetensi yang dimiliki. Ketercapaian penggalian dan penemuan
kompetensi , dilakukan oleh peserta didik itu sendiri sehingga mereka mampu
menghayati dan mengamalkan untuk bertaqwa kepada Tuhan Yyang Maha Esa , rasa
ingin tahu, toleransi, berfikir terbuka, percaya diri, kasih sayang, peduli
sesama, kebersamaan, kekeluargaan dan persahabatan.
IPS merupakan suatu program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu
tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu,
disiplin ilmu-ilmu sosial (social science), maupun ilmu pendidikan (Sumantri.
2001:89). Social Scence Education Council (SSEC) dan National Council for
Social Studies (NCSS), menyebut IPS sebagai “Social Science Education” dan
“Social Studies”. Dengan kata lain, IPS mengikuti cara pandang yang bersifat
terpadu dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi, ekonomi, ilmu politik,
ilmu hukum, sejarah, antropologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya
Dalam bidang pengetahuan sosial, ada banyak istilah. Istilah tersebut
meliputi : Ilmu Sosial (Social Sciences), Studi Sosial (Social Studies) dan
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
1. Sosial (Social Science)
Achmad Sanusi memberikan batasan tentang Ilmu Sosial (Saidihardjo,1996.h.2)
adalah sebagai berikut: “Ilmu Sosial terdiri disiplin-disiplin ilmu pengetahuan
sosial yang bertarap akademis dan biasanya dipelajari pada tingkat perguruan
tinggi, makin lanjut makin ilmiah”.
Menurut Gross (Kosasih Djahiri,1981.h.1), Ilmu Sosial merupakan disiplin
intelektual yang mempelajari manusia sebagai makluk sosial secara ilmiah,
memusatkan pada manusia sebagai anggota masyarakat dan pada kelompok atau
masyarakat yang ia bentuk.
Nursid Sumaatmadja, menyatakan bahwa Ilmu Sosial adalah cabang ilmu
pengetahuan yang mempelajari tingkah laku manusia baik secara perorangan maupun
tingkah laku kelompok. Oleh karena
itu Ilmu Sosial adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia
dan mempelajari manusia sebagai anggota masyarakat.
2. Studi Sosial (Social Studies).
Perbeda dengan Ilmu Sosial, Studi Sosial bukan merupakan suatu bidang
keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih merupakan suatu bidang
pengkajian tentang gejala dan masalah social. Tentang Studi Sosial ini, Achmad
Sanusi (1971:18) memberi penjelasan sebagai berikut : Sudi Sosial tidak selalu
bertaraf akademis-universitas, bahkan merupakan bahan-bahan pelajaran bagi
siswa sejak pendidikan dasar.
3. Pengetahuan Sosial (IPS)
Harus diakui bahwa ide IPS berasal dari literatur pendidikan Amerika
Serikat. Nama asli IPS di Amerika Serikat adalah “Social Studies”. Istilah
tersebut pertama kali dipergunakan sebagai nama sebuah komite yaitu “Committee
of Social Studies” yang didirikan pada tahun 1913. Tujuan dari pendirian
lembaga itu adalah sebagai wadah himpunan tenaga ahli yang berminat pada
kurikulum Ilmu-ilmu Sosial di tingkat sekolah dan ahli-ahli Ilmu-ilmu Sosial
yang mempunyai minat sama.
Definisi IPS menurut National Council for Social Studies (NCSS),
mendifisikan IPS sebagai berikut: social studies is the integrated study of the
science and humanities to promote civic competence. Whitin the school program,
socisl studies provides coordinated, systematic study drawing upon such
disciplines as anthropology, economics, geography, history, law, philosophy,
political science, psychology, religion, and sociology, as well as appropriate
content from the humanities, mathematics, and natural sciences. The primary
purpose of social studies is to help young people develop the ability to make
informed and reasoned decisions for the public good as citizen of a culturally
diverse, democratic society in an interdependent world.
Pada dasarnya Mulyono Tj. (1980:8) memberi batasan IPS adalah merupakan
suatu pendekatan interdsipliner (Inter-disciplinary Approach) dari pelajaran
Ilmu-ilmu Sosial. IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang Ilmu-ilmu
Sosial, seperti sosiologi, antropologi budaya, psikologi sosial, sejarah,
geografi, ekonomi, ilmu politik, dan sebagainya. Hal ini lebih ditegaskan lagi
oleh Saidiharjo (1996:4) bahwa IPS merupakan hasil kombinasi atau hasil
pemfusian atau perpaduan dari sejumlah mata pelajaran seperti: geografi,
ekonomi, sejarah, sosiologi, antropologi, politik.
F. Sejarah Pertumbuhan Ilmu Pengetahuan Sosial
Bidang studi IPS yang masuk ke Indonesia adalah berasal dari Amerika
Serikat, yang di negara asalnya disebut Social Studies. Pertama kali Social
Studies dimasukkan dalam kurikulum sekolah adalah di Rugby (Inggris) pada tahun
1827, atau sekitar setengah abad setelah Revolusi Industri (abad 18), yang
ditandai dengan perubahan penggunaan tenaga manusia menjadi tenaga mesin.
Latar belakang dimasukkannya Social studies dalam kurikulum sekolah di
Amerika Serikat berbeda dengan di Inggris karena situasi dan kondisi yang
menyebabkannya juga berbeda. Penduduk Amerika Serikat terdiri dari berbagai
macam ras diantaranya ras Indian yang merupakan penduduk asli, ras kulit putih
yang datang dari Eropa dan ras Negro yang didatangkan dari Afrika untuk
dipekerjakan di perkebunan-perkebunan negara tersebut.
Pada awalnya penduduk Amerika Serikat yang multi ras itu tidak menimbulkan
masalah. Baru setelah berlangsung perang saudara antara utara dan selatan atau
yang dikenal dengan Perang Budak yang berlangsung tahun l861-1865 dimana pada
saat itu Amerika Serikat siap untuk menjadi kekuatan dunia, mulai terasa adanya
kesulitan, karena penduduk yang multi ras tersebut merasa sulit untuk menjadi
satu bangsa.
Selain itu juga adanya perbedaan sosial ekonomi yang sangat tajam. Para
pakar kemasyarakatan dan pendidikan berusaha keras untuk menjadikan penduduk
yang multi ras tersebut menjadi merasa satu bangsa yaitu bangsa Amerika. Salah
satu cara yang ditempuh adalah dengan memasukkan social studies ke dalam
kurikulum sekolah di negara bagian Wisconsin pada tahun 1892. Setelah dilakukan
penelitian, maka pada awal abad 20, sebuah Komisi Nasional dari The National
Education Association memberikan rekomendasi tentang perlunya social studies
dimasukkan ke dalam kurikulum semua sekolah dasar dan sekolah menengah Amerika
Serikat. Adapun wujud social studies ketika lahir merupakan semacam ramuan dari
mata pelajaran sejarah, geografi dan civics.
Di samping sebagai reaksi para pakar Ilmu Sosial terhadap situasi sosial di
Inggris dan Amerika Serikat, pemasukan Social Studies ke dalam kurikulum
sekolah juga dilatarbelakangi oleh keinginan para pakar pendidikan. Hal ini
disebabkan mereka ingin agar setelah meninggalkan sekolah dasar dan menengah,
para siswa: (1) menjadi warga negara yang baik, dalam arti mengetahui dan
menjalankan hak-hak dan kewajibannya; (2) dapat hidup bermasyarakat secara
seimbang, dalam arti memperhatikan kepentingan pribadi dan masyarakat. Untuk
mencapai tujuan tersebut, para siswa tidak perlu harus menunggu belajar
Ilmu-ilmu Sosial di perguruan tinggi, tetapi sebenarnya mereka sudah mendapat
bekal pelajaran IPS di sekolah dasar dan menengah. Pengembangan Pendidikan IPS
SD
Pertimbangan lain dimasukkannya social studies ke dalam kurikulum sekolah
adalah kemampuan siswa sangat menentukan dalam pemilihan dan pengorganisasian
materi IPS. Agar materi pelajaran IPS lebih menarik dan lebih mudah dicerna
oleh siswa sekolah dasar dan menengah, bahan-bahannya diambil dari kehidupan
nyata di lingkungan masyarakat. Bahan atau materi yang diambil dari pengalaman
pribadi, teman-teman sebaya, serta lingkungan alam, dan masyarakat sekitarnya.
Hal ini akan lebih mudah dipahami karena mempunyai makna lebih besar bagi para
siswa dari pada bahan pengajaran yang abstrak dan rumit dari Ilmu-ilmu Sosial.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS
di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang
pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas
oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim
Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam
bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan
kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem
pendidikan dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber
daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga
produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Pada tahun 2004, pemerintah melakukan perubahan kurikulum kembali yangn
dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Dalam kurikulum SD, IPS
berganti nama menjadi Pengetahuan Sosial. Pengembangan kurikulum Pengetahuan
Sosial merespon secara positif berbagai perkembangan informasi, ilmu
pengetahuan, dan teknologi. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan relevansi
program pembelajaran Pengetahuan Sosial dengan keadaan dan kebutuhan setempat.
Rasional Mempelajari IPS.
Rasionalisasi mempelajari IPS untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah
adalah agar siswa dapat:
1. Mensistematisasikan bahan, informasi, dan
atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan lingkungannya menjadi
lebih bermakna.
2. Lebih peka dan tanggap terhadap berbagai
masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab.
3. Mempertinggi rasa toleransi dan
persaudaraan di lingkungan sendiri dan antar manusia.
IPS atau disebut Pengetahuan Sosial pada kurikulum 2004, merupakan satu
mata pelajaran yang diberikan sejak SD dan MI sampai SMP dan MTs. Untuk jenjang
SD dan MI Pengetahuan Sosial memuat materi Pengetahuan Sosial dan
Kewarganegaraan.
Pada haikatnya, pengetahuan Sosial sebabagi suatu mata pelajaran yang
menjadi wahana dan alat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, antara lain:
1. Siapa diri saya?
2. Pada masyarakat apa saya berada?
3. Persyaratan-persyaratan apa yang diperlukan diri saya
untuk menjadi anggota suatu kelompok masyarakat dan bangsa?
4. Apa artinya menjadi anggota masyarakat bangsa dan
dunia?
5. Bagaimanakah kehidupan manusia dan masyarakat berubah
dari waktu ke waktu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab oleh setiap siswa, dan
jawabannya telah dirancang dalam Pengetahuan sosial secara sistematis dan komprehensip.
Dengan demikian, Pengetahuan Sosial diperlukan bagi keberhasilan siswa dalam
kehidupan di masyarakat dan proses menuju kedewasaan.
G. Hasil belajar
curikulum KTSP Indonesia
1. Kurikulum KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan revisi dan
pengembangan dari kurikulum KBK. KTSP lahir karena dianggap masih sarat dengan
beban belajar dan pemerintah pusat dalam hal ini Depdiknas masih dipandang
terlalu intervensi dalam pengembangan kurikulum. Oleh karena itu dalam KTSP beban
belajar siswa sedikit berkurang dan tingkat satuan pendidikan (sekolah, guru,
dan komite sekolah) diberi kewenangan untuk mengembangkan kurikulum , seperti
membuat indikator, silabus, dan beberapa komponen kurikulum lainnya.
Dari perubahan kurikulum di atas terlihat adanya inovasi-inovasi untuk
menjawab tantangan perkembangan zaman. Seperti kita melihat adanya perubahan
sifat kurikulum, mulai dari Correlated Subject Curriculum (1968),
Integrated Curriculum Organization (1975), Content Based Curriculum (1984),
Objective Based Curriculum (1994), sampai Competency Based Curriculum (2004).
IPS dalam Standar Nasional Pendidikan
Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 7 menyebutkan
bahwa:
Konsep Dasar Pembelajaran IPS
Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai
dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa,
fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang
SMP/MTs mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan
Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat
menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta
warga dunia yang cinta damai.
Mata pelajaran IPS terpadu pada jenjang pendidikan dasar dan menengah termasuk
rumpun ilmu sosial, seharusnya merupakan mata pelajaran yang menarik, apabila
disajikan oleh guru dengan menggunakan teknik-teknik pembelajaran yang dapat
memotivasi siswa. Namun dalam kenyataannya banyak para siswa mengeluh karena
bahan-bahan materi pelajaran disajikan kurang menarik serta membosankan di
samping guru kurang mampu memilih metode pembelajarannya.
Akar masalah dari
problem mata pelajaran sosial tersebut adalah bahwa pembelajaran
pengetahuan sosial lebih menekankan pada aspek pengetahuan, fakta dan
konsep-konsep yang bersifat hapalan belaka. Hal ini sejalan dengan pendapat
Somantri, 2001 yang menyatakan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu
disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target
pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses. Hal ini menyebabkan
pembelajaran IPS selalu menjenuhkan dan membosankan dan dianggap oleh peserta
didik sebagai pelajaran kelas dua.
Standar kompentensi
dari mata pelajaran IPS menurut Depdiknas (2003: 5) adalah peserta didik
diarahkan, dibimbing dan dibantu untuk menjadi warga negara Indonesia dan warga
dunia yang baik. Hal ini merupakan tantangan yang berat karena masyarakat
global selalu mengalami perubahan yang besar setiap saat.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menambah
pengetahuan kita tentang bumi. Namun demikian kemajuan teknologi yang mendorong
industrialisasi telah menghasilkan dampak negatif berupa polusi dan limbah
industri yang mengotori tanah, air serta udara baik secara lokal, regional
bahkan secara global.
Untuk menanamkan
betapa berharganya bumi, dan bagaimana memelihara serta melestarikannya
sebaiknya dalam materi yang akan diberikan kepada para siswa dimasukan
pengetahuan dan pemahaman tentang bumi berserta substansinya seperti
terbentunya dan evolusi bumi sebagai salah satu planet dalam sistem alam
semesta, siklus iklimnya, kekayaan alam dan lain-lain. Selanjutnya perlu juga
dipelajari tentang kesehatan masyarakat, kependudukan, kekayaan alam, ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tantangan lokal, regional, nasional dan global.
Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak
kemajuan ilmu dan teknologi serta dengan masuknya arus globalisasi, membawa
pengaruh yang multidimensional. Di bidang pendidikan perubahan itu dituntut
oleh kebutuhan siswa, masyarakat, dan lapangan kerja. Salah satu bentuk
perubahan yang dituntut dari kurikulum IPS adalah menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi secara global tersebut. Oleh karena itu, pendidikan IPS harus
berkualitas internasional seperti yang dikatakan oleh Alfin Tofler yaitu harus
berpikir global dan bertindak lokal.
Dalam rangka memenuhi tuntutan tersebut, materi IPS
harus berwawasan global, yaitu meliputi:
1. Kesadaran diri; sebagai makhluk Tuhan,
eksistensi, potensi dan jati diri sebagai warga dari sebuah bangsa yang
berbudaya dan bermartabat dengan bangsa lain di dunia (tidak lebih rendah dari
bangsa lain)
2. Tentang kecakapan berpikir seperti kecakapan berpikir
kritis, menggali informasi, mengolah informasi, mengambil keputusan dan
memecahkan masalah.
3. Tentang kecakapan
akademik; tentang ilmu-ilmu sosial seperti kemampuan memahami fakta, konsep dan
generalisasi tentang sistem sosial budaya, lingkungan hidup, perilaku ekonomi
dan kesejahteraan serta tentang waktu dan keberlanjutan perubahan yang terjadi
di dunia.
4. Mengembangkan sosial
skill dengan maksud supaya pada masa mendatang kita tidak hanya menjadi obyek
penguasaan globalisasi belaka.
Menurut
Marsh Colin dalam Nana Supriatna (2002: 15), keterampilan sosial adalah
keterampilan memperoleh informasi, berkomunikasi, pengendalian diri, bekerjasama,
menggunakan angka, memecahkan masalah serta keterampilan membuat keputusan.
Hal ini diperkuat oleh Ancss (1984: 249) dalam Rahmania (2006) yang menyatakan bahwa
keterampilan sosial adalah keterampilan dalam memperoleh informasi
(keterampilan membaca, keterampilan belajar, mencari informasi dan keterampilan
menggunakan alat-alat teknologi), keterampilan yang berkaitan dengan hubungan
sosial serta partisipasi dalam masyarakat.
Keterampilan sosial
tersebut sangat relevan untuk dikembangkan dalam mata pelajaran IPS di
Indonesia, agar diharapkan para peserta didik dapat hidup sebagai warga negara
, warga masyarakat dan warga dunia yang dapat berperan dalam masyarakatnya.
Untuk mencapai
sasasaran tersebut, menurut Wiraatmadja (2002: 276), guru harus selalu
memperbaharui kemahiran profesionalnya (professional skill) yaitu
meliputi kemampuan mengajar (teaching skill) melalui loka karya, seminar,
pertemuan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran) atau dengan mendatangkan nara
sumber.
Nana Supriatna (2002:
18) menyebutkan ada beberapa strategi dalam mengajarkan keterampilan sosial
kepada peserta didik melalui IPS, di antaranya:
1. Guru IPS harus
menyajikan pembelajaran IPS dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan
model-model pembelajaran yang relevan dengan tujuan pembelajarannya. Salah satu
model pembelajaran yang relevan adalah cooperative learning.
Dengan pembelajaran cooperative learning, maka siswa tidak saja menghafal
fakta, konsep dan pengetahuan yang bersifat kognitif rendah dan guru sebagai
satu-satunya sumber informasi, melainkan akan membawa siswa untuk
berpartisipasi aktif karena siswa akan diminta melakukan tugas-tugas seperti
bekerja kelompok, melakukan inkuiri dan melaporkan hasil kegiatannya kepada
kelas. Ini artinya guru bukan satu-satunya sumber informasi karena siswa akan
mencari sumber yang beragam dan terlibat dalam berbagai kegiatan belajar yang
beragam pula. Guru selain berperan sebagai fasilitator dalam semua kegiatan
siswa, juga harus mengamati proses pembelajaran untuk memberikan penilaian (assessment)
baik untuk pengetahuan ke-IPS-an juga menilai keterampilan social (social
skill) selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
2. Strategi serta
pendekatan konstruktivisme yang menempatkan siswa sebagai mitra pembelajaran
dan pengembangan materi pelajaran dapat digunakan oleh guru IPS dalam
mengembangkan keterampilan social. Keterampilan siswa dalam hal memperoleh,
mengolah dan memanfaatkan informasi untuk memiliki, berdayakan dirinya dapat
dilakukan melalui proses pembelajaran di kelas. Guru IPS konstruktivis harus
dapat memfasilitasi para siswanya dengan kesempatan untuk berlatih dalam mengklasifikasi,
menganalisis, dan mengolah informasi berdasarkan sumber-sumber yang mereka
terima. Sikap kritis siswa terhadap informasi harus dapat dikembangkan
dalam proses pembelajaran di kelas. Guru juga harus selalu membiasakan siswa
untuk memprediksi, mengklasifikasi dan menganalisis dengan demikian aspek
kognitif siswa yang dikembangkan tidak hanya keterampilan dalam menghafal dan
mengingat melainkan juga menganalisis, memprediksi, mengkritisi dan
mengevaluasi informasi yang diterima.
3. Strategi inkuiri yaitu stratgei yang menekankan
peserta didik menggunkan keterampilan social dan intelektual dalam memperoleh
pengalaman baru atau informasi baru melalui investigasi yang sifatnya mandiri. Menurut Supriatna ada beberapa keuntungan
dari strategi ini, yaitu:
a.
Strategi ini memungkinkan peserta didik melihat isi
pelajaran lebih realistic dan positif ketika menganalisis dan
mengklasifikasikan data dalam memcahkan masalah.
b.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan
isu-isu tertentu, mencari data yang relevan serta membuat keputusan yang
bermakna bagi mereka secara pribadi.
c.
Menempatkan guru sebagai fasilitator belajar sekaligus
mengurangi perannya sebagai pusat kegiatan belajar.
Wiraatmadja (2002:
205-306) mengatakan belajar mengajar ilmu-ilmu social agar menjadi berdaya
apabila proses pembelajarannya bermakna (meaningfull), yaitu:
a.
Siswa belajar menjalin pengetahuan, keterampilan,
kepercayaan dan sikap yang mereka anggap berguna bagi kehidupannya di sekolah
atau di luar sekolah.
b.
Pengajaran ditekankan kepada pendalaman gagasan
penting yang terdapat dalam topic-topik yang dibahas, demi pemahaman, apresiasi
dan aplikasi siswa.
c.
Kebermaknaan dan pentingnya materi pelajaran
ditekankan bagaimana cara penyajiaannya dan dikembangkannya melalui kegiatan
aktif.
d.
Interaksi di dalam kelas difokuskan pada pendahuluan
topic-topik terpilih dan bukan pada pembahasan sekilas sebanyak mungkin materi.
e.
Kegiatan belajar yang bermakna dan strategi assessment
hendaknya difokuskan pada perhatian siswa terhadap pikiran-pikiran atau
gagasan-gagasan yang penting dan terpateri dalam apa yang mereka pelajari.
f.
Guru hendaknya berpikir reflektif dalam melakukan
perencanaan/ persiapan, perberlakuan dan assessment pembelajaran.
Namun tugas besar
dari pembelajaran IPS tersebut ternyata tidak berjalan sesuai dengan harapan.
Hal ini Karena adanya beberapa hambatan yang menjadikan pembelajaran IPS tidak
berhasil bahkan cenderung membosankan, yaitu:
1. Sebagian besar guru IPS belum terampil
menggunakan beberapa model mengajar yang dapat merangsang motivasi belajar
siswa
2. Ketersediaan alat dan bahan belajar di
sebagian besar sekolah ikut mempengaruhi proses belajar IPS
3. Proses belajar mengajar IPS masih
dilakukan dalam bentuk pembelajaran konvensional, sehingga peserta didik hanya
memperoleh hasil faktual saja dan tidak mendapat hasil proses.
4. Dalam hal implementasi atau proses
pelaksanaan kurikulum ini guru yang mendapat sosialisasi dalam bentuk penataran
atau diklat sangat terbatas sekali, sehingga faktor ini juga menyebabkan mereka
masih belum memahami hakekat kurikulum baru ini sebagaimana mestinya.
Salah satu tugas sekolah adalah memberikan
pengajaran kepada siswa. Mereka harus memperoleh kecakapan dan pengetahuan dari
sekolah, di samping mengembangkan pribadinya. Pemberian kecakapan dan
pengetahuan kepada siswa, yang merupakan proses belajar-mengajar dilakukan oleh
guru di sekolah dengan menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu (B.
Suryosubroto, 1997:148).
Mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di SD dan SMP/MTs berfungsi
untuk mengembangkan pengetahuan, nilai, sikap, dan keterampilan siswa tentang
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia (Puskur Balitbang Depdiknas, 2003:2).
Terkait dengan tujuan mata pelajaran IPS yang sedemikian fundamental maka guru
dituntut untuk memiliki pemahaman yang holistik dalam upaya mewujudkan
pencapaian tujuan tersebut. Ranah Hasil Belajar IPS
Pemerintah indikator dalam
pembelajaran mengacu pada hasil belajar yang harus dikuasai siswa. Dalam
pencapaian hasil belajar siswa, guru dituntut untuk memadukan ranah kognitif,
afektif, dan psikomotor secara proporsional. Horward Kingsly membagi tiga macam
hasil belajar,yakni (a)ketrampilanda kebiasaan, (b) pengetahuan dan
pengertian, (c) sikap dan cita-cita. Masing-masing jenis hasil
belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Sedangkan Gagne membagi lima hasil belajar, yakni (a) informasi verbal, (b)
keterampilan verbal, (c) strategi kognitif, (d) sikap, dan (e) ketrampilan
motoris.
Dalam dalam sistem pendidikan nasional
rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan instraksional,
menggunakan klasikfikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom yang secara garis
besar membaginya menjadi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah efektif, dan
ranah pisikmotoris (Nana Sudjana, 2002:22).
Ranah kognitif berkenan dengan hasil
belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau
ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis sintensis, dan evaluasi. Ranah efektif
berkenan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban
atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah psikomotoris
berkenan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam
aspek ranah psikmotoris,(a) gerakan refleks, (b) keterampilan gerakan dasar,
(c) kemampuan perseptual, (d) keharmonisan atau ketepataan, (e) gerakan
keterampilan, (f) gerakan ekspresif dan interpretatif.
Berdasarkan konsep di atas maka dapat
diperoleh suatu pengertian bahwa hasil belajar IPS adalah kemampuan yang
dimiliki oleh siswa setelah belajar, yang wujudnya berupa kemampuan kognitif,
afektif, dan psikomotor. Derajat kemampuan yang diperoleh siswa diwujudkan
dalam bentuk nilai hasil belajar IPS.
5.2 Kurikulum IPS di Perancis
Semua siswa di akhir pelajaran pokok di Perancis, dalam seconde kelas the lycée
d'enseignement générale et technologique (LEGT), mengikuti suatu
kurikulum umum; karena yang akhir tahun kedua (post-compulsory) siswa memilih kuliah pokok spesialis yang
tergantung pada kecakapan yang spesifik yang mereka putuskan. Pelajaran di
seconde pada umumnya meliputi pokok / wajib. para siswa memilih pelajaran pokok
yang disajikan.
Mata pelajaran pokok
- Bahasa Perancis;
- Matematika;
- Ilmu fisika Dan Ilmu kimia;
- Ilmu pengetahuan Bumi;
- Bahasa asing modern;
- Sejarah dan geografi;
- Pendidikan jasmani dan olahraga; an
- Pendidikan Kewarganegaraan, Hukum, dan Pendidikan social (Social Studies)
Ditambah dengan:
- Dukungan Individual (Individual support)
- Teknologi Informasi (Information technology)
- Jam Kelas (Class hours)
- Workshop Ekspresi Seni/Artistik (Artistic expression workshops)
- Praktek sosial budaya Social and cultural practices)
Pendidikan Kewarganegaraan
Pada tingkat sekolah menengah dinamakan "education civique,
juridique et sociale" (civic, legal and social education). Ini
mengarahkan untuk mencerminkan arti penting Pemerintahan pada warganegara nya
mempunyai suatu pengetahuan hukum dan sistem yang undang-undang yang sah.
Silabus dirancang untuk memungkinkan para siswa untuk berdebat sosial dari
sudut pandang pelajaran sebelumnya mereka. Di seconde, pelajaran kewarga
negaraan pendidikan mempunyai empat tema utama:
Kewarga negaraan Dan Civility/Incivilas
Kewarga negaraan Dan
Integration/Exclusion (dengan tema kebangsaan)
Kewarganegaraan, hukum dan hubungan
di tempat kerja
Kewarga negaraan dan kehidupan keluarga
Karena yang akhir tahun ke dua pendidikan sekunder tema yang luas di dalam
tem diskusi adalah 'institutions and citizenship in practice' and
'citizenship in a changing world'.
Pendidikan religius
Di Perancis pelajaran agama tidaklah diajar sebagai pokok disekolah
walaupun mungkin saja di lain area kurikulum. Satu-Satunya perkecualian adalah
di Upper Rhine, Lower Rhine, and Moselle départements , yang sudah
bertahan sejak tahun 1918. Pendidikan Perancis mengumumkan program acara baru
untuk pelajaran religius untuk sekolah. Program acara yang baru tidak
memperkenalkan studi religius sebagai pokok tetapi lebih memperkuat topik
pengintegrasian seluruh kurikulum. diarahkan untuk memperluas pemahaman dan
pengetahuan peristiwa dunia siswa dan budaya.
5.3 New Jersey (Standar Isi Core Curriculum New
Jersey)
Tujuan IPS
Menyediakan para siswa dengan pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang
diperlukan untuk menjadi aktif, menguasai informasi, warganegara
bertanggung jawab dan berkontribusi terhadap masyarakatnya.
Kompetensi yang harus
dimiliki siswa dari IPS
a.
Memperoleh suatu pemahaman dan apresiasi dasar tentang
Tradisi dan nilai Amerika berdasarkan pada pengetahuan sejarah dan pengembangan
dan berfungsinya sistem pemerintah konstitusional Amerika
b.
Mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang
memungkinkan mereka melaksanakan fungsi pembelajaran sepanjang hayat dan
menguji serta mengevaluasi isu penting untuk seluruh Amerika.
c.
Memperoleh literacy dasar di dalam disiplin
inti social studies dan memiliki pemahaman yang dasar yang
diperlukan untuk menerapkan pengetahuan ini untuk hidup mereka sebagai warga
negara.
d.
Memahami sejarah dunia sebagai konteks untuk sejarah
amerika serikat dan sebagai record/ catatan kultur dan peradaban yang besar
masa lalu dan sekarang
e.
Berpartisipasi dalam aktivitas yang meningkatkan
kebaikan umum dan meningkatkan kesejahteraan umum
Keterampilan IPS
Semua siswa akan menggunakan pemikiran historis,
pemecahan masalah, suatu ketrampilan riset untuk memaksimalkan pemahaman
terhadap pelajaran kewarganegaraan, sejarah, geografi, dan ekonomi.
1.
Pada Akhir Kelas 2, Para Siswa Akan:
a.
menjelaskan konsep panjang/lama yang lalu dan jauh
sekali
b.
menerapkan terminologi
berhubungan dengan waktu termasuk masa lampau, kini/hadir, dan masa depan
c.
mengidentifikasi sumber informasi terpasang lokal,
nasional dan internasional peristiwa
d.
menceritakan kembali peristiwa atau cerita dengan
ketelitian dan peruntunan
e.
mengembangkan timelines sederhana
2.
Pada Akhir Kelas 4, Para Siswa Akan
a.
menjelaskan bagaimana peristiwa [kini/hadir]
dihubungkan terhadap masa lampau
b.
menerapkan terminologi berhubungan dengan waktu
meliputi tahun, dekade, berabad-abad, dan generasi.
c.
menempatkan sumber untuk informasi yang sama i
(ramalan cuaca di tv,internet atau surat kabar)
d.
mengorganisir peristiwa di (dalam) suatu garis waktu
e.
membedakan antara suatu sumber langsung dan sumber
sekunder dari suatu peristiwa
f.
membedakan fakta dari fiksi
3.
Pada Akhir Kelas 6, Para Siswa Akan
a.
meneliti bagaimana peristiwa terkait dari waktu ke
waktu
b.
menggunakan keterampilan berpikir kritis berpikir
ketrampilan untuk menginterpretasikan peristiwa, mengenali penyimpangan,
pandangan, dan konteks
c.
menilai kredibilitas sumber utama (primar) dengan sumber
sekunder
d.
menganalisis data dalam rangka melihat
orang dan peristiwa di dalam konteks
e.
menguji isu, peristiwa, atau tema sekarang dan
menghubungkannya dengan peristiwa yang lampau
4.
Pada Akhir Kelas 8, Para Siswa Akan
a.
merumuskan pertanyaan mendasarkan pada kebutuhan
informasi
b.
menggunakan strategi efektif untuk menempatkan
informasi
c.
membandingkan dan mengkontraskan penafsiran ttg
peristiwa sekarang dan peristiwa historis
5.
Pada Akhir Kelas 10, Para Siswa Akan
a. menginterpretasikan
peristiwa dengan mempertimbangkan kesinambungan dan perubahan,
kekhilafan dan kesalahan, dan mengubah penafsiran sejarawan
b. menciri
fakta dari fiksi dengan membandingkan sumber tentang figur dan peristiwa
dengan karakter fictionalized dan peristiwa
c. meringkas
informasi dalam tulisan, grafis, dan format lisan
6.
Pada Akhir Nilai/Kelas 12, Para Siswa Akan
a. meneliti
bagaimana peristiwa historis membentuk dunia modern
b. merumuskan
pertanyaan dan hipotesis
c. menyatukan,
menganalisis informasi dari sumber primer dan sekunder untuk mendukung
atau menolak hipotesis
d. menguji
data sumber di dalam konteks historis, sosial, politis, mengenai ilmu bumi,
atau konteks ekonomi di mana dikreasikan, menguji kredibilitas dan mengevaluasi
bias.it apakah
e. engevaluasi
isu sekarang, peristiwa, atau tema dan melacak evolusi mereka melalui periode
historis
f. menerapkan
keterampilan problem-solving untuk memecahkanmasalah nasional, negara,
atau lokal
g. menganalisis
perubahan sosial, politis, dan budaya dan mengevaluasi dampak
masing-masing pada peristiwa dan isu lokal, negara, nasional dan internasional
h. mengevaluasi
komunikasi historis dan kontemporer untuk mengidentifikasi akurasi
fakta, ketelitian bukti, dan ketidakhadiran bias dan
mendiskusikan strategi yang digunakan oleh pemerintah, politis calon, dan media
untuk komunikasi dengan masyarakat.
Dari grade 2 sampai
12 keterampilan atau kompetensi social studies menunjukkan
kontinuitas atau kesinambungan antar level dalam esensial komptenesi yang
diharapkan. Disamping itu menunjukkan semakin tinggi level, semakin tinggi dan
mendalam pula keterampilan yang diharapkan siswa pada pelajaran social
studies. Social Studies diajarkan di Amerika Serikat pada semua
jenjang pendidikan. Pada jejang sekolah menengah meliputi Civics, Ekonomi,
Geografi, dan Sejarah yang diajarkan pada semua jenjang kelas.
Proses pembelajaran menuntut keterlibatan peserta didik secara aktif dan
bertujuan agar penguasaan dari kognitif , afektif, serta psi-komotorik
terbentuk pada diri siswa (Moh. Amin, 1987:42), maka alat ukur hasil belajarnya
tidak cukup jika hanya dengan tes obyektif atau subyektif saja. Dengan cara
penilaian tersebut keterampilan siswa dalam melakukan aktivitas baik saat
melakukan percobaan maupun menciptakan hasil karya belum dapat diungkap.
Demikian pula tentang aktivitas siswa selama mengerjakan tugas dari guru. Baik
berupa tugas untuk melakukan perco-baan, peragaan maupun pengamatan.
Penilaian merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari tujuan
pendidikan dasar maupun penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Tujuan
pembelajaran yang dirumuskan pada langkah awal pembelajaran digunakan sebagai
acuan dalam kegiatan pem-belajaran dan proses penilaian yang akan dilakukan.
Menurut Davis (dalam Sudarsono Sudirdjo dkk., 1991:94) tujuan tidak hanya
merupakan arah yang dapat membentuk atau mewarnai kurikulum dan memimpin
kegiatan pen-gajaran, tetapi juga dapat menyediakan spesifikasi secara
terperinci bagi penyusunan dan penggunaan teknik-teknik penilaian. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran yang dirumuskan secara
je-las dan spesifik akan menunjang proses penilaian yang tepat dan dapat
membantu di dalam menetapkan kualitas dan efektivitas pengalaman belajar siswa.
C. STUDI KOMPARATIF PENDIDIKAN IPS
3.1 Studi Komparatif pendidikan IPS
Pendidikan IPS adalah pendidikan yang penuh tantangan tetapi tetap kerdil
karena landasan filosofis esensialisme dan perenialisme yang digunakan.
Berdasarkan filosofi ini maka peserta didik IPS hanya belajar pengetahuan yang
sudah jadi sebagaimana terdapat di dalam buku teks, terpisah dari sumber
informasi primer yaitu masyarakat, dan tidak berorientasi kepada lingkungan
masyarakat terdekat. Model ECA yang kental dengan prinsip dan
dikembangkan Hanna tidak pernah mendapatkan perhatian dan kajian lebih lanjut karena
orientasi pendidikan yang lebih mementingkan disiplin ilmu sebagai alat
pengembangan intellectual skills. Desain kurikulum “transfer of information”
yang digunakan pendidikan IPS memang sesuai dengan kedua filosofi tersebut
tetapi sangat tidak sesuai dengan filosofi yang menghendaki peserta didik
mengembangkan berbagai social skills, communicative skills, dan citizenship
education
Sejak dikembangkan sistem pendidikan sekolah formal di Amerika,
setidak-tidaknya ada empat paradigma pendidikan yang saling bersaing dan
mengkritik, tetapi juga saling silang-kait antara yang satu dengan yang lainnya
(Lapp:1975). Salah satu paradigma yang dikenal adalah paradigma klasik yaitu
perennialisme dan esensialisme yang berasumsi bahwa pendidikan sebagai
aktivitas enkulturasi, pelestarian dan pewarisan gagasan dan nilai-nilai lama
dari generasi ke generasi, dikritik karena memposisikan anak sebagai penerima
pasif tanpa memiliki hak dan kebebasan memilih dan tidak lebih dari sekedar tunnel
education yang hanya menyampaikan pengetahuan yang sudah fixed dan taken
for granted sebagai kebenaran.
Persoalan yang dihadapi oleh PIPS sejak awal perkembangannya sampai
sekarang berada pada tataran paradigmatik (Lybarger, 1991; Fullinwider 1991;
Brophy & Alleman, 1991; Hursh & Ross, 2000; Winataputra, 2001) yaitu
belum tercapainya visi bersama atau konsensus profesional dan akademik di
kalangan pakar tentang fitrah PIPS sebagai salah satu model “pendidikan untuk
anak” (social studies as education for children). Beberapa pakar bidang
PIPS melihat bahwa munculnya persoalan dilematis yang berkaitan dengan
“konflik internal” komunitas PIPS tersebut melahirkan berbagai spekulasi
diantaranya:
Bidang kajian PIPS sendiri sudah lama sekali disadari dalam keadaan carut
marut. Pertentangan dalam definisi di antara para pakar, fungsi yang tumpang
tindih, kekaburan dalam landasan filosofis, serta distorsikonseptual di
kalangan para pemraktik PIPS di lapangan sehingga ada indikasi kuat bahwa
praktik PIPS sudah keluar dari jalur. (Barr,
Shermis, & Barth; 1978,1987).
Konseptualisasi PIPS sarat kepentingan (very Interested), tidak
lepas dari perjuangan berbagai kelompok kepentingan[2] di dalam masyarakat agar gagasan,
aspirasi dan kepentingannya dimasukkan sebagi inti kurikulum PIPS di sekolah. (Kliebard dalam Lybarger, 1991; Brophy &
Alleman, 1996).
Sistem pendidikan yang berlaku (Rogers, 1989:11-17) gagal mempertemukan
kebutuhan-kebutuhan nyata siswa dan masyarakatnya karena sekolah umumnya masih
sangat tradisional, konservatif, kaku, birokratis, dan resisten terhadap
perubahan. Dilema yang dihadapi oleh dunia pendidikan, kata Rogers, juga akibat
dari:
a) aturan-aturan sekolah yang birokratis,
sehingga para guru terikat oleh pendekatan tradisional dan konvensional,
b) mengembangkan sistem pertahanan diri (self-defeating
system),
c) takut membuat kejutan (fear making
waves),
d) tidak tahu langkah-langkah yang harus diambil
untuk mengimplementasikan alternatif-alternatif yang praktis.
Kalaupun ada sebagian guru yang mau bersikap terbuka dan humanistik, mereka
justru merasa sebagai orang yang teralinasi dalam realitas sistem pendidikan
yang masih konvensional. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatinan dan juga
pertanyaan di kalangan pakar PIPS luar dan dalam negeri, seperti:
Burke & Hill (1990:1)
Sejauh ini, para guru PIPS senantiasa diingatkan perlunya memahami
kecenderungan-kecenderungan mutakhir di dalam disiplin mereka (PIPS). Reformasi
kurikulum, pelatihan dan pelatihan ulang bagi guru, serta perubahan sekuensi
bidang kajian pun sudah diikhtiarkan untuk memecahakan masalah kejenuhan,
kesalahan persepsi dan relevansi… (akan tetapi) mengapa pula hingga sejauh ini
masih begitu banyak siswa sekolah dasar yang melihat PIPS sebagai kajian yang
tidak relevan tentang fakta-fakta, data-data dan peristiwa-peristiwa?
Stopsky & Lee (1994:xvii-xviii)
Mengapa gagasan-gagasan pembaharuan PIPS yang telah dilakukan selama ini
tidak juga membangkitkan minat dan harapan siswa bahkan sejak masuknya PIPS
dalam kurikulum sekolah masih ditemukan 10 mitos tentang PIPS.[3]
Fouts (1990:418)
Fakta dari perspektif gender, baik siswa laki-laki maupun perempuan secara
ekstrem sama-sama memiliki pandangan negatif terhadap PIPS. Dari 1.174 siswa
sampel, maksimal hanya 20-an persen saja yang menjadikan PIPS sebagai mata
pelajaran yang disukai. Penyebabnya antara lain karena materi kurikulum,
metodologi pembelajaran dan lingkungan kelas yang kurang menarik, pasif, kurang
menantang siswa untukbelajar dan terlalu sarat beban.
Sumantri (2001)
Dari aspek proses, praktik PIPS baru sebatas transfer informasi dan bahan
hafalan, peranbuku teks dan guru sangat dominan (masih menggunakan pendekatan
ekspositorik/teacher talk oriented).
Al-Muchtar (1991)
Dari aspek materi, PIPS dipandang kurang memuat masalah sosial, budaya dana
nilai dalam hidup keseharian anak, kurang dikemas sebagai “problematic
statement”, lebih berorientasi pada penguasaan struktur keilmuan daripada
realitas sosial budaya keseharian sebagai sumber nilai ajukan bagi anak,
terlalu sarat beban muatan, kurang sesuai dengan motivasi dan orientasi belajar
anak.
Hasan (1996)
PIPS belum sepenuhnya mampu mengembankan kemampuan berpikir tingkat tinggi
dan pembentukan karakter atau kepribadian umum, sebagai dua hal yang seharusnya
menjadi kepedulian dalam pengembangan PIPS pada masa mendatang.
Drost (2001:251-255)
Terjadi proses ideologisasi yang disebabkan oleh kondisi internal
mikro PIPS[4] dan kondisi eksternal makro yaitu politik
pendidikan nasional yang terlalu berorientasi pada sains dan teknologi, serta
mentalitas masyarakat Indonesia yang juga amat mementingkan ilmu eksakta dan
teknologi. Kondisi ini akhirnya berpengaruh pula terhadap minat dan hasrat
siswa untuk memilih PIPS sebagai bidang studi atau jurusan yang layak ditekuni.
Oleh karena itu PIPS perlu dirumuskan dan dikembangkan dengan
mempertimbangkan eksistensi siswa dan segala kapasitas yang dimilikinya.
Pengembangan dasar-dasar pemikiran dan program PIPS juga sudah menjadi komitmen
bersama di kalangan komunitas PIPS di berbagai negara. HISPIPSI misalnya, sejak
tahun 1989 hingga seminar nasionalnya tahun 2001 di Semarang, telah menjadikan
pertimbangan minat, kepentingan, kebutuhan atau tahapan perkembangan anak
(psikologis) sebagai prinsip pedagogis utama dalam pengembangan IPS-SD
(Somantri, 2001). Sementara komunitas PIPS di Amerika sebagai “centre of
excellence” dalam pengembangan pemikiran PIPS juga menegaskan bahwa anak
perlu dijadikan sebagai salah satu basis pengembangannya (psikologis, etis, moral)
untuk mencapai tujuan-tujuan PIPS (pengetahuan, sikap-nilai dan keterampilan)
yang diharapkan.
Dalam dokumen PIPS pertama, “Statements of Chairman of the Social
Studies”, Thomas Jesse Jones selaku pimpinan Komisi PIPS (Committee on
Social Studies = CSS) 1913 menegaskan bahwa:
(PIPS) tidak dimaksudkan memberikan pengetahuan lengkap atau mendetail
kepada setiap anak, melainkan lebih pada upaya memberikan kepada mereka arahan
betapa signifikan materi tersebut bagi mereka…,sehingga dalam diri mereka
bangkit hasrat untuk mengerti lingkungannya. Juga membantu mereka agar mampu
berpikir sebagai warganegara (to think civically), dan jika mungkin
hidup sebagai layaknya warganegara (to live civically)… (Saxe, 1991:
182, 184 dalam lampiran)
Komisi PIPS, NCSS dan Pakar PIPS, sepakat bahwa konstruksi program PIPS
perlu diorganisasi secara “sekuensial” bermula dari lingkungan
(institusi dan komunitas) sekitar, yang paling dekat atau akrab dengan anak,
hingga ke lingkungan yang paling jauh dan luas (mendunia). Gagasan ini
melahirkan sebuah konsepsi kurikulum dari Hanna yang dikenal sebagai “expanding
communities approach” atau Model ECA (Hasan, 1996:145-146). Model ini
digunakan untuk pendidikan sosial yang mempersiapkan siswa terutama untuk
berkiprah dalam masyarakat sebgai anggota biasa suatu masyarakan dan bukan
sebagai calon untuk dididik sebagai ilmuwan atau tenaga kerja tingkat perguruan
tinggi. Fokus kajiannya adalah “sembilan aktivitas dasar manusia” (the
nine basic human activities).
Namun model Hanna walaupun diakui dan diformalkan oleh NCSS sebagai
model kurikulum nasional PIPS, mendapat kritik dari Ravitch (1996). Ravitch
mengkritik bahwa model Hanna telah menjadikan PIPS semacam “tot
sociology” (sosiologi untuk anak-anak) dan mengalami pengosongan (vuocusness)
dan penyucian (sterility) dari materi lokal. Atas keberatan dan
penolakan Ravicth terhadap kurikulum model Hanna di atas, Brophy & Alleman
(1996) berasumsi bahwa kegagalan PIPS sebagai program pendidikan sesungguhnya
bukan pada kerangka berpikir yang meletakkan konstruksi PIPS dalam konteks “expanding
communities of men”, melainkan lebih pada “cara topik-topik PIPS tersebut
dipikirkan”.
Maksudnya, kekeliruan tadi terletak pada cara pandang para pakar cenderung
meletakkan topik-topik PIPS menurut cara-cara berpikir ilmuwan sosial yang
menganut prinsip “cultural universals” dengan asumsi bahwa
kebutuhan-kebutuhan dasar dan pengalaman-pengalaman sosial manusia selalu ada
dalam semua kelompok masyarakat sehingga para pakar beranggapan bahwa siswa
bisa mendapatkan pengertian mendasar atas konsep-konsep atau prinsip-prinsip
universalitas tersebut. Padahal yang esensial bagi siswa adalah bagaimana
memahamkan mereka tentang kerja sistem sosial berlangsung, mengapa pula
terdapat perbedaan-perbedaan dalam konteks geografis dan waktu, serta bagaimana
pula signifikansi kerja sistem sosial tersebut terhadap keputusan-keputusan
sosial yang harus diambil sebagai pribadi, anggota masyarakat atau sebagai
warga negara.
Untuk itu jika model Hanna akan dikembangkan kembali dalam kurikulum PIPS,
model tersebut memerlukan berbagai modifikasi, elaborasi, dan pengayaan.
Diperlukan pula perpaduan dengan suatu pendekatan yang disebut “holistic-interactive
approach”, agar anak dapat lebih memperoleh suatu pandangan yang kompleks
dan utuh atas dunianya (Parker, 1991:108). Diharapkan anak ada dalam posisi being
itself sehingga muncul pemikiran radikal dari aluran interksional yang
mengasumsikan pendidikan sebagai aktivitas interdependensi dan dialogis antara
siswa dengan dunia nyata untuk suatu kehidupan bersama yang lebih baik sebagai
rumah budayanya (cultural home), juga perlu mendapat perhatian.
Tujuan akhirnya adalah pembentukan meaning and identity bagi anak
sendiri sebagai makhluk yang memiliki kesadaran sosial dan kesadaran diri
(Lapp, 1975). Program-program PIPS haruslah dikembangkan berpusat pada diri
siswa dan memberikan berbagai peluang bagi mereka untuk menjadi partisipan
aktif dan telibat dalam pembelajaran, serta membelajarkan anak tentang
keterampilan-keterampilan kewarganegaraan secara aktif dan bertanggung
jawabbukan hanya mendidik mereka untuk sekedar menerima peran-peran sebagai
warga negara pasif (Cleaf, 1991:ix).
Hal ini penting agar mereka bisa mencapai tingkat pengertian yang sangat
dibutuhkan agar mereka bisa berfungsi secara efektif sebagai orang dewasa nanti
yang mengharuskan mereka mengembangkan karakter dasar kewarganegaraan agar bisa
menjadi warganegara efektif dan bertanggung jawab sebagai atribut mendasar bagi
kelangsungan sebuah masyarakat demokrasi dan sesuai dengan apa yang
diharapkan oleh PIPS.
Pembelajaran IPS akan dimulai dengan pengenalan diri (self), kemudian
keluarga, tetangga, lingkungan RT, RW, kelurahan/desa, kecamatan,
kota/kabupaten, propinsi, negara, negara tetangga, kemudian dunia. Anak
bukanlah sehelai kertas putih yang menunggu untuk ditulisi, atau replika orang
dewasa dalam format kecil yang dapat dimanipulasi sebagai tenaga buruh yang
murah, melainkan, anak adalah entitas yang unik, yang memiliki berbagai potensi
yang masih latent dan memerlukan proses serta sentuhan-sentuhan tertentu dalam
perkembangannya. Mereka yang memulai dari egosentrisme dirinya kemudian
belajar, akan menjadi berkembang dengan kesadaran akan ruang dan waktu yang
semakin meluas, dan mencoba serta berusaha melakukan aktivitas yang berbentuk
intervensi dalam dunianya. Maka dari itu, pendidikan IPS adalah salah satu
upaya yang akan membawa kesadaran terhadap ruang, waktu, dan lingkungan sekitar
bagi anak (Farris and Cooper, 1994 : 46).
Pendidikan IPS disajikan dalam bentuk synthetic science, karena basis
dari disiplin ini terletak pada fenomena yang telah diobservasi di dunia nyata.
Konsep, generalisasi, dan temuan-temuan penelitian dari synthetic science
ditentukan setelah fakta terjadi atau diobservasi, dan tidak sebelumnya,
walaupun diungkapkan secara filosofis. Para peneliti menggunakan logika,
analisis, dan keterampilan (skills) lainnya untuk melakukan inkuiri terhadap
fenomena secara sistematik. Agar diterima, hasil temuan dan prosedur inkuiri
harus diakui secara publik (Welton and Mallan, 1988 : 66-67). Hal ini dikemukakan oleh Jhon Dewey, (dalam Numan, S, dkk, 1997: 23)
mengungkapkan bahwa: “Masalah yang utama dalam pengajaran sosial ialah
bagaimana menemukan bahwa pelajaran yang dapat memberikan dorongan siswa untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yag cocok dengan waktu, kebutuhan serta cita-cita
peserta didik, karenanya guru seyogyanya berusaha mencari dan merumuskan
stimuli-stimuli yang mampu membina respon murid ke arah terciptanya kecakapan
intelektual dan pertumbuhan rasa yang dikehendaki. Untuk itu program pengajaran harus mampu
menyajikan masalah lingkungan kehidupan anak”.
Kalau kita perhatikan, banyak sekali sumber daya potensial yang berada di
sekolah yang dapat kita jadikan sebagai sumber belajar. Di sekitar sekolah kita
terdapat masjid, toko, pasar, kolam, tempat rekreasi, kebun, pabrik, grup seni,
dan lain-lainnya. Secara fungsional itu semua dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan dalam proses belajar mengajar siswa. “Secara umum, proses belajar
mengajar dengan mengaplikasikan lingkungan alam sekitar adalah upaya
pengembangan kurikulum dengan mengikutsertakan segala fasilitas yang ada di
lingkungan alam sekitar sebagai sumber belajar”. (Lily Barlia. 2002 : 2).
Penggunaan
lingkungan sebagai sumber belajar, akan memberikan pengetahuan nyata bagi
siswa, juga dimaksudkan untuk menghindari verbalisme, sebab menurut Piaget,
anak usia SD pada umumnya yaitu pada taraf anak belajar mengenal sesuatu
melalui benda yang nyata terlihat di lingkungan sekitarnya.
Pemanfaatan
lingkungan sebagai sumber belajar dapat mempermudah siswa menyerap bahan
pelajaran, lebih mengenal kondisi lingkungannya, menerapkan pengetahuan dan
keterampilan yang dipelajarinya, serta akrab dengan lingkungannya.
Dalam hal ini Lily
Barlia (2002: 1) menyatakan bahwa: “Kebiasaan untuk memanfaatkan fasilitas yang
tersedia di lingkungan sekitar dalam proses belajar mengajar merupakan wujud
proses belajar mengajar dengan pendekatan ekologi”.
Salah satu
tantangan mendasar dalam pengajaran IPS saat ini adalah bagaimana mecari
strategi pembelajaran yang inovatif yang memungkinkan meningkatnya mutu proses
pembelajaran. Perkembangan dan kemajuan IPTEK membuka kemungkinan siswa tidak
hanya belajar di dalam kelas akan tetapi peserta didik dapat belajar di luar kelas.
Dengan belajar di luar kelas peserta didik akan lebih leluasa menemukan ide-ide
yang diperoleh dari informasi berbagai sumber, melatih siswa utuk memecahkan
suatu masalah yang ada di masyarakat. Maka dengan demikian siswa bisa secara
kritis dan kreatif serta dapat melakukan aktivitas dalam belajar.
JJ. Rouseau,
(dalam Lily, B 2002: 3) menyatakan bahwa: “Anak-anak sebaiknya belajar langsung
dari pengalamannya sendiri, dari pada hanya mengandalkan perolehan informasi
dari buku-buku, guru pertamaku adalah kakiku, tanganku dan mataku, karena
dengan inderaku itu mengajariku berpikir”.
Hubungan timbal balik antara isi bahan pengajaran dengan fakta, konsep dan
generalisasi. Isi bahan pengajaran memberi makna kepada fakta, konsep dan
generalisasi, isi bahan pengajaran akan lebih mudah dipahami dan lama diingat
jika berfokus kepada gagasan kunci, seperti konsep dan generalisasi. Dalam
perkembangan IPS dewasa ini diakui bahwa kekuatan pengajaran IPS itu terletak
di dalam kemampuannya untuk mengungkapkan sesuatu yang terintegrasi, menantang
dan aktiv. Artinya materi IPS harus berlandaskan nilai, mengungkapkan fakta,
dan materi secara keseluruhan yang esensial, terpadu (sebagaimana aspek-aspek
dalam kehidupan manusia dan melibatkan segenap potensi aktif siswa). Dengan
demikian, IPS berkontribusi kepada pengembangan keterampilan siswa
(intelektual, personal, dan sosial) adalah tanggung jawab guru sebagai
pengembang kurikulum untuk mengolah materi IPS ini agar memenuhi harapan
seperti dikemukakan di atas.
3.2 Social skills, communicative skills, dan citizenship education.
Keterampilan Sosial (Social Skills) dalam NCSS (1984:249) adalah
a) Keterampilan
dalam memperoleh informasi, (keterampilan membaca, keterampilan belajar,
mencari informasi, dan keterampilan dalam menggunakan alat-alat teknologi),
b) Keterampilan yang
berkaitan dengan hubungan sosial serta partisipasi dalam masyarakat
(keterampilan diri yang sesuai dengan kemampuan dan bakat, bekerja sama,
berpartisipasi dalam masyarakat)”.
Keterampilan sosial
yang perlu dimiliki oleh peserta didik (Marsh
Colin dalam Nana Supriatna
(2002:15) adalah: keterampilan memperoleh informasi,
berkomunikasi, pengendalian diri, bekerja sama, menggunakan angka, memecahkan
masalah, serta keterampilan dalam membuat keputusan.
Keterampilan berkomunikasi (communicative
skills)
adalah Kemampuan untuk menyampaikan
informasi dari komunikator kepada komunikan dengan menggunakan
media dan cara penyampaian informasi yang dipahami oleh kedua pihak, serta
saling memiliki kesamaan arti lewat trasnsmisi pesan secara simbolik.
(Marpaung, 2001:5). Di dalam komunikasi hal ini diperlukan karena manusia
memiliki naluri untuk berinteraksi, berhubungan dan bergaul dengan sesamanya
sejak dilahirkan sampai sepanjang hidupunya. Interaksi dapat semakin bertambah
sejalan dengna semakin meluasnya pergaulan dan seiring dengan bertambahnya
usia.
Mengkomunikasikan
pokok pikiran maupun hasil temuan dalan PIPS dapat dilakukan secara langsung
secara lisan dan dapat pula melalui pemanfaatan media melalui latihan yang
rutin (Hasan, 1996:230). Seseorang akan dikatakan berhasil dalam komunikasi
jika dapat memperhatikan dua hal berikut:
1. Kemauan dan
keberanian untuk mengemukakan hasil.
2. Kemampuan untuk
mengemukakan hasil
Suatu
kenyataan yang harus disadari oleh guru-guru IPS melihat kenyataan budaya yang
berlaku di Indonesia bahwa guru selalu benar, orang tua harus dihormati dan
tidak boleh bersilang pendapat dengan orang yang lebih tua.
Dalam konteks pemikiran PIPS sebagai Pendidikan Kewarganegaraan (citizenship
education) dalam Sunal
(1991:290) berargumentasi bahwa di rumah, anak belajar menjadi warga
masyarakatnya. Tatkala dia masuk sekolah mereka sudah siap mengembangkan
pengertiannya tentang peran-peran sosial di rumahnya, berhubung dengan
teman-temannya, dan sebagai warga masyarakatnya. Rumah memberikan pengaruh
pertama dalam pembentukan pengertian anak tentang peran-peran yang saling
berkaitan, keragaman di dalam intensitas dan arti pentingnya sesuai dengan usia
anak .... pengaruh rumah sangat kuat .... di rumah anak belajar bagaimana
mencapai sesuatu ; berhubungan dengan orang lain ; berinisiatif dan mengukuhkan
hubungan-hubungan sosialnya ; berhubungan dengan yang lain dari anggota
keluarga mereka secara rasial, ekonomi, atau budaya ; hidup sebagai
pribadi bermoral ; ..... ini menegaskan bahwa para pendidik PIPS memahami dan
menyadari betapa kuat dan berlanjutnya pengaruh keluarga, saudara-saudara
mereka, serta lingkungan rumah, dalam menciptakan konsepsi anak mengenai
peran-peran dirinya sebagai seorang warga negara.
Pendidikan ilmu-ilmu sosial perlu mengembangkan aspek
sikap, nilai, dan moral, dasarnya adalah ”tidak ada disiplin ilmu yang bekerja
dalam suasana value and moral free (Nagel, 1961 ; Hasan, 1977 ;
Lincoln dan Guba, 1985 ; Trigg, 1991). Bahwa selama ilmu itu dikembangkan, maka
tidak mungkin ilmu bebas dari orang yang mengembangkannya. Sebagai manusia
selalu terikat nilaidanmoral yangberlaku di masyarakat. selain itu kedudukan
ilmu-ilmu sosial sebagai wahana untuk menarik perhatian generasi muda sehingga
bagaimana mereka tertarik belajar ilmu sosial. Khususnya berhubungan dengan
kedudukan ilmu-ilmu sosial sebagai wahan pendidikan, ia memiliki tugas
mengembangkan kepribadian siswa yang utuh dan sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Yang pada akhirnya sikap, nilai, danmoral dapat dikembangkan pendidikan
ilmu-ilmu sosial adalah (Hasan, 1996:114-116):
- Pengetahuan dan pemahaman tentang nilai dan moral yang berlaku dalam masyarakat seperti religius, penghormatan terhadap keteladanan, prestasi, sifat kepedulian sosial, menghormati orang tua, kepedulian terhadap tetangga, dan sebagainya.
- Toleransi.
- Kerja sama / gotong royong.
- Hak azasi manusia
3.3 Jenis Kecakapan Hidup
Kecakapan hidup dapat dikategorikan menjadi dua yaitu kecakapan dasar dan
kecakapan instrumental/fungsional Kecakapan dasar adalah ekcakapan yang
bersifat universal dan merupakan fondasi/pilar bagi peserta didik untuk bisa
mengembangkan kecakapan hidup yang bersifat instrumental/fungsional. Sedang
kecakapan hidup yang bersifat instrumental adalah ekcakapan hidup yang bersifat
kondisional dan dapat berubah-ubah sesuai dengan derap perubahan waktu,
situasi, dan harus diperbarui secara terus menerus sesuai dengan perubahan .
Mengingat perubahan kehidupan berlangsung secara terus menerus, maka kecakapan
yang mutakhir, adaptif dan antisiaptif. Oleh karena itu prinsip belajar sekali
tidak perlu belajar algi, sudah tidak relevan.
Slamet (http://pelangi.dit-plp.go.id/artikelmbs.htm)
mengidentifikasi kategori dimensi hidup bersifat dasar dan instrumental
yang dirinci sebagai berikut:
a. kecakapan dasar
a.
Kecakapan belajar terus menerus
b.
Kecakapan membaca, menulis, dan mendengar
c.
Kecakapan berkomunikasi secara lisan, tertulis, tergambar.
d.
Kecakapan berfikir induktif, deduktif, ilmiah, nalar,
kritis, kreatif, literal, eksploratif, diskoveri, dan berpikir sistem.
e.
Kecakapan kalbu: spiritual, emosional, rasa, moral, dsb.
f.
Kecakapan mengelola kesehatan badan
g.
Kecakapan merumuskan kepentingan dan upaya-upaya yang diperlukan untuk
memenuhinya, dan
h.
Kecakapan berkeluarga dan bersosial.
b. Kecakapan Instrumental/Fungsional
1) Kecakapan menggunakan dan memanfaatkan
teknologi dalam kehidupan
2) Kecakapan mengelola sumber daya manusia
dan sumber daya selebihnya, (peralatan, perlengkapan, bahan, dsb)
3) Kecakapan bekerjasama dnegan orang lain
4) Kecakapan memanfaatkan informasi
5) Kecakapan menggunakan sistem dalam
kehidupan
6) Kecakapan berwirausaha
7) Kecakapan keterampilan kejuruan, termasuk
olah raga dan seni (cita rasa).
8) Kecakapan memilih, menyiapkan, dan
mengembangkan karir
9) Kecakapan menjaga harmoni dengan
lingkungan (fisik dan nirpisik)
10) Kecakapan menyatukan bangsa berdasarkan
nilai-nilai Pancasila
3.4 Model Pengembangan
Berdasarkan hasil kajian terhadap dapat dideskripsikan beberapa hal yang
berkaitan dengan life skills Kurikulum Hongkong sebagai berikut:
Terdapat sebelas tema yang berkaitan dengan lifeskills kurikulum Hongkong ,
yaitu:
1.
Ikhtisar Perubahan Kurikulum– Refleksi Kekuatan dan menjadi siap untuk
tindakan
2.
Seluruh perencanaan kurikulum sekolah– Menuju keberhasilan mencapai
tujuan belajar dan target jangka pendek pengembangan kurikulum sekolah
3.
Empat tugas pokok– Menuju keberhasilan pembelajaran
untuk belajar
4.
Belajar dan Mengajar efektif– Akting untuk mencapai
5.
Kebijakan Sekolah atas penilaian– Mengubah
praktek penilaian.
6.
Belajar Life-Wide – Memperkaya pelajaran melalui
pengalaman asli
7.
Mutu sumber belajar dan mengajar dan pengembangan
perpustakaan sekolah- membawa pembelajaran efektif
8.
Pekerjaan rumah penuh arti– Memperkuat pelajaran,
memperdalam pemahaman dan membangun pengetahuan.
9.
Hubungkan pada berbagai tingkatan pendidikan yang
diterima di sekolah–mendukung transisi
10. Pengembangan
professional pengembangan dan pengembangan kurikulum berbasis sekolah, menopang
dan meningkatkan kapasitas untuk perubahan.
11.
Kontribusi dari pesta yang berbeda –
Partnerships untuk pertumbuhan.
Ikhtisar Perubahan Kurikulum– Refleksi Kekuatan
dan menjadi siap untuk tindakan, meliputi:
Kurikulum sekolah terdiri drai:
Tujuh tujuan belajar:
a. Tanggung jawab
b. identitas nasional
c. kebiasaan membaca
d. keterampilan bahasa
e. keterampilan belajar
f. pengetahuan luas
g. gaya hidup sehat.
Lima pengalaman belajar,
meliputi:
- Pendidikan Moral dan kewarganegaraan
- Pengembangan intelektual
- Pelayanan masyarakat
- Pengembangan fisik dan estetik, dan
- Karir berkaitan pengalaman
Delapan kunci area belajar, meliputi :
- Pendidikan Fisik
- Pendidikan Seni
- Pendidikan Teknologi
- Pendidikan Sains,
- Pendidikan Personal, Sosial, dan Humanities
- Pendidikan matematika
- Pendidikan Bahasa Inggris, dan
- Pendidikan bahasa Cina.
Tujuh tujuan belajar, 5 pengalaman belajar, dan 8 kunci area belajar
semuanya dalam upaya mengembangkan:
a. Generic skills,
yaitu :
1) Keterampilan komunikasi
2) Keterampilan berpikir kritis dan kreatif,
3) Keterampilan kolaborasi
4) Teknologi informasi
5) Numeracy
6) Problem solving,
7) Manajemen diri, dan
8) Studi (belajar);
b. Nilai
dan Sikap, yaitu:
1) Ketekunan
2) Respect terhadap orang lain
3) Tanggung jawab
4) Identitas nasional
5) Komitmen
2. Empat tugas kunci, meliputi:
a. Pendidikan Moral &
Kewarganegaraan
b. Membaca untuk belajar,
c. Teknologi Informasi untuk belajar
interaktif,
d. Belajar project.
Penguatan sekolah Hongkong, refleksi dan praktek, meliputi :
a.
penguatan budaya dan masyarakat, meliputi: usaha belajar adalah usaha
bersama dan nilai dalam masyarakat, ekspektasi tinggi untuk mutu pendidikan,
prioritas utama pendidikan, nilai orang tua terhadap pendidikan sekolah, lebih
banyak sumber masyarakat untuk pendidikan, mengekspose beberapa stimulus
eksternal dan ide.
b.
Penguatan Departemen pendidikan, sekolah, dan guru, meliputi penguatan
sekolah itu sendiri; guru bekerja dengan rajin, guru sangat baik dalam membuat
yang terbaik untuk pengajaran di kelas, guru dengan rajin mengetahui
dengan baik subjek kurikulum, masing-masing inovasi kurikulum memperkenalkan di
masa lalu telah menyajikan pengalaman bermanfaat untuk perubahan
untuk membangun, masyarakat peneliti pendidikan membuat langkah cepat dalam
output penelitian selama 10 tahun terakhir.
c.
Penguatan siswa , meliputi: kemampuan akademik tinggi dan pengembangan
seluruh aspek, berkeinginan belajar dan mempunyai potensi luar biasa
untuk belajar
d.
Belajar dan Mengajar efektif – Akting untuk mencapai, meliputi Prinsip
untuk tindakan & mengacu pada KLA spesifik, memperhatikan keanekaragaman
siswa, menyediakan layanan khasus untuk siswa yang kemampuannya di bawah
rata-rata dan yang berbakat.
e.
Kebijakan Sekolah atas penilaian– Mengubah praktek penilaian,
meliputi hubungkan dengan prioritas golongan, selektif untuk menilai,
model penilai beraneka ragam, umpan balik kualitatif yang lebih banyak
f.
Belajar Life-Wide – Memperkaya pelajaran melalui pengalaman asli, meliputi
Life-Wide belajar dan 5 belajar pengalaman, emphases pada Langkah Kunci
masing-masing, memeprtimbangkan Kunci untuk perencanaan LWL, dna isu
g.
Mutu sumber belajar dan mengajar dan pengembangan perpustakaan sekolah-
membawa pembelajaran efektif, meliputi seleksi buku teks, pengoperasian
perpustakaan sekolah, peran guru perpustakaan.
h.
Pekerjaan rumah penuh arti– Memperkuat pelajaran, memperdalam pemahaman dan
membangun pengetahuan, meliputi hubungan antara Pekerjaan Rumah, belajar
mengajar dan penilaian, PR efektif, frekuensi dan kuantitasnya, petunjuk dan
umpan balik PR, kebijakan sekolah, dan peran orang tua.
i.
Hubungkan pada berbagai tingkatan pendidikan yang diterima di
sekolah–mendukung transisi, meliputi peningkatan praktek kurikulum, dan
pendekatan kooperatif dan komprehensif, program acara menyeluruh, induksi
sebelum istilah mulai, mata rantai kurikulum sesuai, informasi komprehensif
untuk siswa, pilihan subject sesuai dengan minat dan kemampuan siswa.
j.
Pengembangan professional pengembangan dan
pengembangan kurikulum berbasis sekolah, menopang dan meningkatkan kapasitas
untuk perubahan. Hal ini meliputi pengetahuan guru: untuk praktek, di dalam
praktek, dan tentang praktek, auditing, rencana pengembangan staff strategis, kursus yang
ditetapkan;perbaiki, wktu persiapan pelajaran kolaboratif, penelitian
tindakan dan praktek reflektif.
k.
Kontribusi dari pihak yang berbeda – Partnerships untuk pertumbuhan,
meliputi siswa, guru, kepala sekolah, guru perpustakaan, orang tua, dan
masyarakat.
l.
Jika membandingkan core curriculum Canada, Life Skills kurikulum
Hongkong dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi IPS, maka diperoleh persamaan,
bahwa ketiganya mengembangkan kompetensi tertentu yang harus dikuasai siswa,
artinya menggunakan model ”outcome-based curriculum”.
Akan tetapi terdapat
perbedaan dalam pengembangan struktur kurikulum, di Canada disamping
dikembangkan kompetensi untuk 7 mata pelajaran yang diajarkan di sekolah yaitu
bahasa, matematika, sains, pendidikan kesehatan, pendidikan seni dan pendidikan
olah raga, juga dikembangkan core curriculum atau common essential
learnings (C.E.L.S) yang perlu dikembangkan dan disatukan ke dalam tujuh
bidang studi tersebut. Keenam common essential learnings ini merupakan
area yang saling berhubungan yang berisi pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan
kemampuan dasar yang harus dimiliki siswa dalam kehidupan sehari-hari,
meliputi komunikasi (communication), kemampuan dalam
matematika (numeracy), berpikir kritis dan kreatif (critical
and creative thinking), melek teknologi (technology literacy),
nilai dan keterampilan personal dan sosial (personal and social values and
skills), belajar mandiri (independent learning). Sehingga pada
setiap mata pelajaran, disamping mengembangkan kompetensi mata pelajarannya
juga harus dipadukan dengan pengembangan common essential learnings yang
berguna bagi kehidupan siswa sehari-hari.
Dalam life skills
kurikulum Hongkong, struktur kurikulum meliputi 8 mata pelajaran yaitu : Pendidikan Fisik , Pendidikan Seni,
Pendidikan Teknologi, Pendidikan Sains, Pendidikan Personal, Sosial, dan
Humanities, Pendidikan matematika, Pendidikan Bahasa Inggris, dan Pendidikan
bahasa Cina. Di dalam kedelapan mata pelajaran tersebut selain mengembangkan
tujuan masing-masing mata pelajaran, juga hendaknya mengusung tujuan belajar
meliputi tanggung jawab, identitas nasional, kebiasaan
membaca, keterampilan bahasa, keterampilan belajar,
pengetahuan luas, dan gaya hidup sehat. Dan melalui lima pengalaman
belajar meliputi: Pendidikan Moral dan kewarganegaraan,
Pengembangan intelektual, Pelayanan masyarakat, Pengembangan fisik dan
estetik, dan Karir berkaitan pengalaman. Kesemua itu dalam upaya mengembangkan
life skills peserta didik yang meliputi:
a. Generic skills,
yaitu :
- Keterampilan komunikasi
- Keterampilan berpikir kritis dan kreatif,
- Keterampilan kolaborasi
- Teknologi informasi
- Numeracy
- Problem solving,
- Manajemen diri, dan
- Studi (belajar);
b. Nilai dan Sikap,
yaitu:
- Ketekunan
- Respect terhadap orang lain
- Tanggung jawab
- Identitas nasional
- Komitmen
Life skills tersebut merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh
peserta didik sebagai bekal bagi kelangsungan hidup. Dalam kurikulum
berbasis kompetensi tidak secara tegas dikembangkan common essential
learnings seperti di Canada atau life skills kurikulum Hongkong,
tetapi menggunakan istilah lain yaitu standar kompetensi lintas kurikulum yang
sebenarnya hampir sama dengan common essensial learning Canada, Life
Skills di Hongkong merupakan kecakapan untuk hidup (lifeskills) dan belajar
sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai oleh peserta didik melalui
pengalaman belajar.
Perbedaannya, dalam
implementasi KBK di Indonesia, setiap mata pelajaran seolah-olah membawa
kompetensinya sendiri-sendiri terpisah dengan kompetensi mata pelajaran lain
dan juga terpisah dari tujuan mengembangkan kemampuan dasar yang penting bagi
hidup siswa sehari-hari. Misalnya dalam kurikulum IPS kurang dikembangkan
kemampuan dasar reading habits (kebiasaan membaca), keterampilan
berpikir kritis dan kreatif, melek teknologi. kemampuan numerik, dan motivasi
belajar mandiri. Di samping itu IPS tidak menerapkan pendekatan Science,
Technology, and Society (sains, teknologi, dan masyarakat), dimana dalam
pembelajaran IPS seolah terjauh dari materi sains dan teknologi karena dianggap
bukan garapan IPS tetapi garapan IPA dan pelajaran TIK. Sebaliknya dalam
mata pelajaran lain, misalnya IPA terjauh dari upaya mengembangkan pengetahuan,
sikap dan keterampilan sosial. Sebenarnya kemampuan tersebut hendaknya
dikembangkan oleh seluruh mata pelajaran.
Akan tetapi, KBK di
Indonesia memiliki kelebihan karena lebih menerapkan rancangan kurikulum yang
didasarkan pada konsep kompetensi secara luas yaitu bertujuan mengembangkan
kemampuan pendidikan meliputi : kecakapan, kebiasaan, keterampilan yang
diperlukan seseoramg dalam kehidupannya, baik sebagai pribadi, warga
masyarakat, siswa dan karyawan. Sehingga bertujuan menerapakan pedidikan
sebagai Life Skill. Sehingga KBK bertujuan tidak sekedar sebagai
“seperangat kemampuan semata” namun menerapkan kompetensi secara luas. Namun
kelemahan KBK di indonesia ini adalah kurang feasible-nya untuk
penerapan di Indonesia dikarenakan : kultur dan adminisrasi kurikulum
sebelumnya yang belum diterapkan secara konsisten, kelemahan yang lain adalah
tidak disiapkan secara bertahap sehingga kesiapan guru dalam melakukan
kreatifitas pernacangan kurilukulum belum siap. Dikarenakan ketidaksiapan guru
dalam menyusun kurikulum sehingga pada akhirnya lebih untuk statis dan
menggunakan content-content lama dalam pengajarannya. Sehingga ada paradigma
baru yang menyatakan bahwa KBK merupakan kurikulum lama, padahal ini semua
terjadi karena ketidakmengertian GURU dan implementasi yang terlalu prontal.
3.4 Hahikat dan tujuan pendidikan IPS
Hakikat IPS, adalah telaah tentang manusia dan dunianya. Manusia sebagai
makhluk sosial selalu hidup bersama dengan sesamanya. Dengan kemajuan teknologi
pula sekarang ini orang dapat berkomunikasi dengan cepat di manapun mereka berada
melalui handphone dan internet. Kemajuan Iptek menyebabkan cepatnya komunikasi
antara orang yang satu dengan lainnya, antara negara satu dengan negara
lainnya. Dengan demikian maka arus informasi akan semakin cepat pula
mengalirnya. Oleh karena itu diyakini bahwa “orang yang menguasai informasi
itulah yang akan menguasai dunia”.
Suatu tempat atau ruang dipermukaan bumi, secara alamiah dicirikan oleh
kondisi alamnya yang meliputi iklim dan cuaca, sumber daya air, ketinggian dari
permukaan laut, dan sifat-sifat alamiah lainnya. Jadi bentuk muka bumi seperti
daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi, dan daerah pegunungan akan
mempengaruhi terhadap pola kehidupan penduduk yang menempatinya. Lebih jelasnya
Anda dapat mencermati contoh berikut ini.
• Corak kehidupan masyarakat di tepi pantai utara Jawa yang bentuknya
landai dengan laut yang tenang dan tidak begitu tinggi serta arus angin yang
tidak begitu kencang, sangat menguntungkan bagi masyarakat untuk mencari ikan.
Hal ini disebabkan ikan banyak berkumpul di kawasan laut yang dangkal yang
masih tertembus sinar matahari. Oleh karena itu mayoritas masyarakatnya bermata
pencaharian sebagai nelayan. Hampir semua pelabuhan-pelabuhan besar di pulau
Jawa sebagian besar terletak di pantai utara Jawa.
• Dataran rendah yang meliputi daerah pantai sampai ketinggian 700 meter di
atas permukaan laut merupakan kawasan yang cadangan airnya cukup, didukung oleh
iklimnya yang cocok, merupakan potensi alam yang cocokuntuk dikembangkan
sebagai areal pertanian, misalnya Karawang, Bekasi, Indramayu, Subang dan
sebagainya. Dataran tinggi yang beriklim sejuk, dengan cadangan air yang sudah
semakin berkurang maka sistem pertanian yang dikembangkan adalah pertanian
lahan kering dan holtikultura seperti sayuran, buah-buahan, da tanaman hias.
• Lain dengan daerah pegunungan
yang memiliki corak tersendiri. Karena sedikitnya persediaan air tanah,
mengakibatkan pemukiman penduduk terpusat di lembah-lembah atau mendekati alur
sungai. Hal ini dikarenakan mereka berusaha untuk mendapatkan sumber air yang
relatif mudah. Ladang yang mereka usahakan biasanya terletak di lembah
pegunungan.
Aspek pengaturan dan kebijakan ini termasuk aspek politik
Marilah kita cermati kembali apa yang sudah kita pelajari di atas. Setelah
kita pelajari ternyata kehidupan itu banyak aspeknya, meliputi aspek-aspek:
1.
hubungan sosial: semua hal yang berhubungan dengan interaksi manusia
tentang proses, faktor-faktor, perkembangan, dan permasalahannya dipelajari
dalam ilmu sosiologi
2.
ekonomi: berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan manusia, perkembangan, dan
permasalahannya dipelajari dalam ilmu ekonomi
3.
psikologi: dibahas dalam ilmu psikologi
4.
budaya: dipelajari dalam ilmu antropologi
5.
sejarah: berhubungan dengan waktu dan perkembangan kehidupan manusia
dipelajari dalam ilmu sejarah
6.
geografi: hubungan ruang dan tempat yang sangat berpengaruh terhadap
kehidupan manusia dipelajari dalam ilmu geografi
7.
politik: berhubungan dengan norma, nilai, dan kepemimpinan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat dipelajari dalam ilmu politik
1. Tujuan Pendidikan IPS
Berdasarkan pada falsafah negara tersebut, maka telah dirumuskan tujuan
pendidikan nasional, yaitu: membentuk manusia pembangunan yang
ber-Pancasila dan untuk membentuk manusia yang sehat jasmani dan rokhaninya, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, dapat mengembangkan kreativitas dan tanggung
jawab, dapat menyuburkan sikap demokrasi dan penuh tenggang rasa, dapat
mengembangkan kecerdasan yang tinggi dan disertai budi pekerti yang luhur,
mencintai bangsanya, dan mencintai sesama manusia sesuai ketentuan yang
termaksud dalam UUD 1945.
Berkaitan dengan tujuan pendidikan di atas, kemudian apa tujuan dari
pendidikan IPS yang akan dicapai? Tentu saja tujuan harus dikaitkan dengan
kebutuhan dan disesuaikan dengan tantangan-tantangan kehidupan yang akan
dihadapi anak. Berkaitaan dengan hal tersebut, kurikulum 2004 untuk tingkat SD
menyatakan bahwa, Pengetahuan Sosial (sebutan IPS dalam kurikulum 2004),
bertujuan untuk:
1.
mengajarkan konsep-konsep dasar sosiologi, geografi, ekonomi, sejarah, dan
kewarganegaraan, pedagogis, dan psikologis.
2.
mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif, inkuiri, memecahkan
masalah, dan keterampilan sosial
3.
membangun komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan
kemanusiaan
4.
meningkatkan kemampuan bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang
majemuk, baik secara nasional maupun global.
Sejalan dengan tujuan tersebut tujuan pendidikan IPS menurut (Nursid
Sumaatmadja. 2006) adalah “membina anak didik menjadi warga negara yang baik,
yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan kepedulian social yang berguna
bagi dirinya serta bagi masyarakat dan negara” Sedangkan secara rinci Oemar
Hamalik merumuskan tujuan pendidikan IPS berorientasi pada tingkah laku para
siswa, yaitu : (1) pengetahuan dan pemahaman, (2) sikap hidup belajar, (3)
nilai-nilai sosial dan sikap, (4) keterampilan (Oemar hamalik. 1992 : 40-41).
Untuk lebih jelasnya akan dibahas satu persatu.
2. Pengetahuan dan Pemahaman
Salah satu fungsi pengajaran IPS adalah mentransmisikan pengetahuan dan
pemahaman tentang masyarakat berupa fakta-fakta dan ide-ide kepada anak.
1) Sikap belajar
IPS juga bertujuan untuk mengembangkan
sikap belajar yang baik. Artinya dengan belajar IPS anak memiliki kemampuan
menyelidiki (inkuiri) untuk menemukan ide-ide, konsep-konsep baru sehingga
mereka mampu melakukan perspektif untuk masa yang akan datang.
2) Nilai-nilai sosial dan sikap
Anak membutuhkan nilai-nilai untuk menafsirkan fenomena dunia sekitarnya,
sehingga mereka mampu melakukan perspektif. Nilai-nilai sosial merupakan unsur
penting di dalam pengajaran IPS. Berdasar nilai-nilai sosial yang berkembang
dalam masyarakat, maka akan berkembang pula sikap-sikap sosial anak. Faktor
keluarga, masyarakat, dan pribadi/tingkah laku guru sendiri besar pengaruhnya
terhadapa perkembangan nilai-nilai dan sikap anak.
3) Keterampilan dasar IPS
Anak belajar menggunakan keterampilan dan alat-alat studi sosial, misalnya
mencari bukti dengan berpikir ilmiah, keterampilan mempelajari data masyarakat,
mempertimbangkan validitas dan relevansi data, mengklasifikasikan dan
menafsirkan data-data sosial, dan merumuskan kesimpulan.
4) Karakteristik Pendidikan IPS
Untuk membahas karakteristik IPS, dapat dilihat dari berbagai pandangan.
Berikut ini dikemukakan karakteristik IPS dilihat dari materi dan strategi
penyampaiannya.
1. Materi
IPS
Ada 5 macam sumber materi IPS antara lain:
a.
Segala sesuatu atau apa saja yang ada dan terjadi di sekitar anak sejak
dari keluarga, sekolah, desa, kecamatan sampai lingkungan yang luas negara dan
dunia dengan berbagai permasalahannya.
b.
Kegiatan manusia misalnya: mata pencaharian, pendidikan, keagamaan,
produksi, komunikasi, transportasi.
c.
Lingkungan geografi dan budaya meliputi segala aspek geografi dan
antropologi yang terdapat sejak dari lingkungan anak yang terdekat sampai yang
terjauh.
d.
Kehidupan masa lampau, perkembangan kehidupan manusia, sejarah yang dimulai
dari sejarah lingkungan terdekat sampai yang terjauh, tentang tokoh-tokoh dan
kejadian-kejadian yang besar.
e.
Anak sebagai sumber materi meliputi berbagai segi, dari makanan, pakaian,
permainan, keluarga.
2. Strategi
Penyampaian Pengajaran IPS
Strategi penyampaian pengajaran IPS, sebagaian besar adalah didasarkan pada
suatu tradisi, yaitu materi disusun dalam urutan: anak (diri sendiri),
keluarga, masyarakat/tetangga, kota, region, negara, dan dunia. Tipe kurikulum
seperti ini disebut “The Wedining Horizon or Expanding Enviroment Curriculum”
(Mukminan, 1996:5).
Sebutan Masa Sekolah Dasar, merupakan periode keserasian bersekolah,
artinya
anak sudah matang untuk besekolah. Adapun
kriteria keserasian bersekolah adalah sebagai berikut.
1. Anak harus dapat bekerjasama dalam kelompok dengan
teman-teman sebaya, tidak boleh tergantung pada ibu, ayah atau anggota keluarga
lain yang dikenalnya.
2. Anak memiliki kemampuan sineik-analitik, artinya dapat
mengenal bagian-bagian dari keseluruhannya, dan dapat menyatukan kembali
bagian-bagian tersebut.
3. Secara jasmaniah anak sudah mencapai bentuk anak sekolah.
Menurut Preston (dalam Oemar Hamalik. 1992 : 42-44), anak mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1. Anak merespon (menaruh perhatian) terhadap
bermacam-macam aspek dari dunia sekitarnya.Anak secara spontan menaruh
perhatian terhadap kejadian-kejadian-peristiwa, benda-benda yang ada
disekitarnya. Mereka memiliki minat yang laus dan tersebar di sekitar
lingkungnnya.
2. Anak adalah seorang penyelidik, anak memiliki dorongan
untuk menyelidiki dan menemukan sendiri hal-hal yang ingin mereka ketahui.
3. Anak ingin berbuat, ciri khas anak adalah selalu ingin
berbuat sesuatu, mereka ingin aktif, belajar, dan berbuat
4. Anak mempunyai minat yang kuat terhadap hal-hal yang
kecil atau terperinci yang seringkali kurang penting/bermakna
5. Anak kaya akan imaginasi, dorongan ini dapat
dikembangkan dalam pengalaman-pengalaman seni yang dilaksanakan dalam
pembelajaran IPS sehingga dapat memahami orang-orang di sekitarnya. Misalnya
pula dapat dikembangkan dengan merumuskan hipotesis dan memecahkan masalah.
Berkaitan dengan atmosfir di sekolah, ada sejumlah karakteristik yang dapat
diidentifikasi pada siswa SD berdasarkan kelas-kelas yang terdapat di SD.
1. Karakteristik pada Masa Kelas Rendah SD (Kelas 1,2, dan 3)
a. Ada hubungan kuat antara keadaan jasmani dan prestasi sekolah
b. Suka memuji diri sendiri
c. Apabila tidak dapat menyelesaikan sesuatu, hal itu dianggapnya tidak
penting
d. Suka membandingkan dirinya dengan anak lain dalam hal yang menguntungkan
dirinya
e. Suka meremehkan orang lain
2. Karakteristik pada Masa Kelas Tinggi SD (Kelas 4,5, dan 6).
a. Perhatianya tertuju pada
kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar, dan
realistis
c. Timbul minat pada
pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi
belajarnya di sekolah.
Menurut Jean Piagiet, usia siswa SD (7-12 tahun) ada pada stadium
operasional konkrit. Oleh karena itu guru harus mampu merancang pembelajaran
yang dapat membangkitkan siswa, misalnya penggalan waktu belajar tidak terlalu panjang,
peristiwa belajar harus bervariasi, dan yang tidak kalah pentingnya sajian
harus dibuat menarik bagi siswa.
Berdasarkan pada apa yang menjadi focus pengajaran, sekurang-kurangnya
dikenal tiga pola desain kurikulum, (Sukmadinata,2004:113-124; Tilaar, 2003:
240-243) yaitu:
o Subject centered design, suatu desain kurikulum yang berpusat
pada bahan ajar.
o Learner centered design, suatu desain kurikulum yang mengutamakan
peranan siswa.
o Problem centered design, desain kurikulum yang berpusat pada
masalah-masalah yang dihadapi dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka ide atau pemikiran kurikulum IPS yang
harus dikembangkan dalam era global adalah rekonstruksionisme sehingga
tentunya proses pembelajaran IPS yang dikendaki pun harus
mengejawantahkan ide-ide rekonstruksionisme. Di Indonesia sendiri dalam
Kurikulum Berbasis Kompetensi dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan IPS lebih
cenderung ke arah rekonstruksionisme. Secara tegas dinyatakan dalam kurikulum
Pendidikan IPS dalam rambu-rambu pembelajaran, bahwa pembelajaran Pendidikan
IPS hendaknya merupakan pendekatan pembelajaran konstekstual, yang dapat
dilaksanakan diantaranya melalui metode inquiry, problem solving,
dan portfolio yang sebenarnya didengungkan pula oleh para global
reformis dalam pendidikan IPS.
Di Ohama dan Newyork sudah pendidikan lebih diarahkan kepada kemampuan
siswa tersebut sehingga siswa dapat lebih berfikir kritis dan kreatif dalam
menjalankan pembelajaran mereka.
Materi yang di dapat mayoritas sama antara negara yang satu dengan negara
lainnya hanya di Indonesia, pemberian materi hanya sekedar transfer ilmu saja
sementara di Ohama dan NewYork materi yang diajarkan lebih kepada arahan
berfikir global bertindak lokal sehingga pembahasan perekonomian di kedua
negara tersebut dimulai dari perekonomian negara sampai ke perekonomian dunia.
Di ketiga kurikulum di atas, dampak kurikulum ekonomi untuk generasi muda
adalah siswa diharapkan dapat mengetahui kebutuhan hidup mereka. Kita harus
sadar dengan kesulitan-kesulitan dan peluang yang datang yang dapat kita
manfaatkan dengan maksimal. Hanya saja di Indonesia, dilihat dari
kompetensi yang dikembangkan, masih sebatas pada wacana teori saja tidak pada
prakteknya. Siswa tidak belajar untuk langsung mengaplikasikan pada kehidupan
sehari-hari, sehingga pada waktu ilmu tersebuta akan dipakai, siswa merasa
bingung karena teori yang di dapatkan tidak dapat diterapkan di lapangan.
Sementara itu, factor lingkungan pun lebih lengkap.
IPS merupakan bidang
studi baru, karena dikenal sejak diberlakukan kurikulum 1975. Dikatakan baru
karena cara pandangnya bersifat terpadu, artinya bahwa IPS merupakan perpaduan
dari sejumlah mata pelajaran sejarah, geografi, ekonomi, sosiologi,
antropologi. Adapun perpaduan ini disebabkan mata pelajaran-mata pelajaran
tersebut mempunyai kajian yang sama yaitu manusia.
Pendidikan IPS
penting diberikan kepada siswa pada jenjang pendidikan dasar dan menengah,
karena siswa sebagai anggota masyarakat perlu mengenal masyarakat dan
lingkungannya. Untuk mengenal masyarakat siswa dapat beljar melalui media
cetak, media elektronika, maupun secara langsung melalui pengalaman hidupnya
ditengah-tengah msyarakat. Dengan pengajaran IPS, diharapkan siswa dapat
memiliki sikap peka dan tanggap untuk bertindak secara rasional dan bertanggungjawab
dalam memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi dalam kehidupannya.
Latar belakang dimasukkannya bidang studi IPS ke dalam kurikulum sekolah di
Indonesia sangat berbeda dengan di Inggris dan Amerika Serikat. Pertumbuhan IPS
di Indonesia tidak terlepas dari situasi kacau, termasuk dalam bidang
pendidikan, sebagai akibat pemberontakan G30S/PKI, yang akhirnya dapat ditumpas
oleh Pemerintahan Orde Baru. Setelah keadaan tenang pemerintah melancarkan
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Pada masa Repelita I (1969-1974) Tim
Peneliti Nasional di bidang pendidikan menemukan lima masalah nasional dalam
bidang pendidikan. Kelima masalah tersebut antara lain:
1. Kuantitas, berkenaan dengan perluasan dan pemerataan
kesempatan belajar.
2. Kualitas, menyangkut peningkatan mutu lulusan
3. Relevansi, berkaitan dengan kesesuaian sistem pendidikan
dengan kebutuhan pembangunan.
4. Efektifitas sistem pendidikan dan efisiensi penggunaan sumber
daya dan dana.
5. Pembinaan generasi muda dalam rangka menyiapkan tenaga
produktif bagi kepentingan pembangunan nasional.
Dalam berbagai literatur, kurikulum diartikan sebagai suatu dokumen atau
rencana tertulis mengenai kualitas pendidikan yang harus dimiliki oleh peserta
didik melalui suatu pengalaman belajar. Pengertian ini mengandung arti bahwa
kurikulum harus tertuang dalam satu atau beberapa dokumen atau rencana
tertulis, yang berisikan pernyataan mengenai kualitas yang harus dimiliki
seorang peserta didik yang mengikuti kurikulum tersebut. Kualitas pendidikan
di atas mengandung arti bahwa kurikulum sebagai dokumen merencanakan kualitas
hasil belajar yang harus dimiliki peserta didik, kualitas bahan/konten
pendidikan yang harus dipelajari peserta didik, kualitas proses pendidikan
yang harus dialami peserta didik.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial ( IPS )
dapat memberikan kontribusi yang cukup besar dalam mengatasi masalah sosial,
sebab pendidikan IPS memiliki fungsi dan peran dalam meningkatkan Sumber Daya
Insani untuk memperoleh bekal pengetahuan tentang harkat dan martabat manusia
sebagai mahluk sosial, keterampilan menerapkan pengetahuan tersebut dan mampu
bersikap berdasarkan nilai dan norma sehingga mampu hidup bermasyarakat.
Kondisi real yang dihasilkan oleh
pembelajaran IPS , dalam hal ini yang diselenggarakan secara formal di
persekolahan, sering kali dianggap belum sesuai dengan yang diharapkan, bahkan
beberapa temuan penelitian dan pengamatan para ahli pendidikan memperkuat
kesimpulan bahwa pendidikan IPS di Indonesia belum maksimal karena perwujudan
nilai-nilai sosial yang dikembangkan dalam pembelajaran IPS masih belum begitu
nampak aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari siswa. Keterampilan sosial para
siswa lulusan masih memprihatinkan, terbukti dengan partisipasi siswa dalam
berbagai kegiatan kemasyarakatan semakin menyusut (Syaodih, 2008:2).
Berkaca dari hasil penelitian tersebut,
perlulah kiranya dicari penyebab yang melatarbelakangi mengapa pembelajaran IPS
belum mengarah pada tujuan sebenarnya. Beberapa diantaranya dapat berpangkal pada
kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan ataupun faktor-faktor pendukung
pembelajaran lainnya. (Soemantri, 1998), Sumaatmadja (1996) dalam Syaodih
(2008:4).
Ada juga yang menyoroti latar belakang tak
tercapainya tujuan pembelajaran IPS di persekolahan di Indonesia adalah faktor
Sistem Pembelajarannya. Lim (2008:1) berpendapat, sistem pembelajaran IPS di
Indonesia jauh ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya di
Jepang. Di Negara Matahari Terbit itu, pembelajaran IPS yang diberikan kepada
siswa diberikan melalui hasil survei lapangan terlebih dahulu, sehingga sesuai
dengan permasalahan dan aktual yang terjadi di masyarakat. Apa yang terjadi di
Indonesia ? IPS masih sebatas pengetahuan, bahkan sifatnya historical murni,
yang kadang tak jelas relevansinya dengan apa yang dihadapi atau dibutuhkan
oleh peserta didik. Permasalahan yang diajarkan adalah permasalahan standard
yang ada di buku teks pelajaran, tidak dicoba dikaitkan dengan permasalahan
yang memiliki tingkat urgensi dan relevansi yang tinggi bagi siswa.
Mata pelajaran IPS masih dipandang siswa
sebagai pelajaran yang membosankan dan dirasa kurang relevan dengan kehidupan
mereka seperti yang ditulis dari hasil penelitian Stahl (2008:3) bahwa: “…
studies classes are dull, boring, and irrelevant to their lives. If the
curriculum in social studies is to continue to have support from school
administrators, politicians, and the general public, it is desirable to have
positive student attitudes towards the subject matter. For it is quite possible
that negative attitudes toward social studies could ultimately result in a
sharp decline in the allocation of resources for this subject area…”
Faktor lainnya ditengarai muncul dari
fasilitator, yaitu guru IPS itu sendiri. Hasil penelitian Nursid Sumaatmadja
(Soesetyo, 2004;2) diperoleh data sebanyak 60% guru IPS di Indonesia memiliki
background pendidikan di luar pendidikan IPS. Haladyna and Shaughnessy dalam
Stahl (2008:8) mengindikasi bahwa guru dan lingkungan pembelajaran memegang
peranan yang kuat dalam membentuk sikap siswa terhadap IPS. Guru dapat
menciptakan lingkungan belajar yang positif dalam kelas. Iklim kelas dan sikap
siswa dapat diubah melalui intervensi guru dalam membangun image terhadap
social studies, oleh karena itu pembelajaran IPS perlu diupayakan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran IPS yang bermakna. Prinsip
pembelajaran IPS (social studies) dalam jurnal NCSS pada sebuah penelitian
berjudul A Vision of Powerful Teaching and Learning in the Social Studies: Building
Social Understanding and Civic Efficacy yang ditulis oleh Stahl (2008:2), bahwa
ada beberapa prinsip yang harus dipedomani dalam pembelajaran IPS sehingga
pembelajaran IPS memberikan hasil yang maksimal, yaitu:
1.
Pembelajaran IPS yang baik jika bermakna (Social
studies teaching and learning are powerful when they are meaningful). Siswa
belajar menghubungkan pengetahuan, keyakinan dan sikap yang manfaatnya mereka
peroleh baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pembelajaran lebih ditekankan
pada pengembangan ide-ide yang penting dalam memahami, mengapresiasikan dan
menerapkannya dalam kehidupan. Kebermaknaan dari isi materi diarahkan pada
bagaimana menyajikannya pada siswa dan bagaimana mengembangkannya melalui
serangkaian kegiatan. Sedangkan interkasi dalam kelas difokuskan pada
pencapaian kompetensi yang penting. Aktivitas pembelajaran yang bermakna dan
strategi penilaian difokuskan pada perhatian siswa terhadap ide-ide penting
dari yang mereka pelajari. Dengan demikian guru merefleksi perencanaan, pelaksanaan
dan penilaian pembelajaran dengan mudah
2.
Pembelajaran IPS yang baik adalah
pembelajaran yang terintegrasi (Social studies teaching and learning are
powerful when they are integrative) Pembelajaran IPS dalam penyampaian topik
dilakukan melalui upaya mengintegrasikan dalam hal: a) lintas ruang dan waktu,
b) pengetahuan, keterampilan, keyakinan, nilai dan sikap untuk dilaksanakan, c)
teknologi secara efektif, d) melalui lintas kurikulum
3.
Pembelajaran IPS yang baik adalah
pembelajaran yang berbasis nilai (Social studies teaching and learning are
powerful when they are value-based). Kekuatan pembelajaran IPS dengan
mempertimbangkan berbagai dimensi atau topik-topik maupun isu-isu yang
kontroversi, pengembangan dan penerapan nilai-nilai sosial. Pembelajaran IPS
membentuk siswa menjadi: a) peka terhadap implementasi kebijakan sosial yang
potensial serta keputusan berdasarkan nilai, b) sadar akan nilai-nilai,
kompleksitas dan dilemma isu-isu, c) mempertimbang kan biaya dan keuntungan
dari berbagai tindakan, d) mengembangkan rasional yang baik terhadap
nilai-nilai sosial demokratis dan politik. Dengan demikian kekuatan
pembelajaran sosial studies mendorong pengenalan pandangan yang berbeda,
sensitivitas terhadap persamaan dan perbedaan budaya dan komitmen terhadap tanggung
jawab sosial.
4.
Pembelajaran IPS yang baik adalah
pembelajaran yang menantang (Social studies teaching and learning are powerful
when they are challenging). Siswa diharapkan mencapai tujuan pembelajaran
secara individu dan kelompok melalui aktivitas berfikir siswa yang menantang.
5.
Pembelajaran IPS yang baik adalah
pembelajaran yang aktif (Social studies teaching and learning are powerful when
they are active). Pembelajaran IPS yang aktif mengharapkan adanya kemampuan
berfikir reflektif dan membua keputusan (decision making) selama pembelajaran.
Siswa mengembangkan pemahaman baru melalui sebuah proses pembelajaran aktif
dengan mengkonstruk pengetahuan sosial yang penting. Guru mengawali kegiatan
dengan memberikan bimbingan melalui modeling, penjelasan, untuk membangun
pengetahuan siswa menjadi independent dan menjadi pembelajar yang memiliki
kebijakan sendiri. Pembelajaran IPS ini menekankan pada kegiatan otentik yang
diperuntukkan pada penerapan kehidupan nyata dengan menggunakan keterampilan
dan konteks materi di bidangnya.
Ringkasnya, pembelajaran IPS di
persekolahan perlu diupayakan secara optimal dengan memperhatikan
prinsip-prinsip pembelajaran IPS sebagai berikut :
Social studies teaching and learning are
powerful when they are : 1)meaningful, 2) integrative, 3) value-based, 4)
challenging, and 5) active. (Stahl, 2008:2)
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial
ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik
agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap
mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil
mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya
sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala
program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik.
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
disebut juga sebagai synthetic science, karena konsep, generalisasi, dan
temuan-temuan penelitian ditentukan atau diobservasi setelah fakta terjadi
(Welton dan Mallan, 1988 : 66-67).
Hingga saat ini, Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS) hanyalah sebuah program pendidikan dan bukan sub-disiplin ilmu
tersendiri, sehingga tidak akan ditemukan baik dalam nomenklatur filsafat ilmu,
disiplin ilmu-ilmu sosial (social sciences), maupun ilmu pendidikan (Somantri,
2001 : 89).
Social Science Education Council (SSEC)
dan National Council for Social Studies (NCSS) menyebut IPS sebagai
"Social Science Education" dan "Social Studies". Pada tahun
1992, NCSS telah mendefinisikan IPS sebagai berikut :
“Social studies is the integrated study of
the social sciences and humanities to promote civic competence. Within the
school program, social studies provides coordinated, systematic study drawing
upon such disciplines as anthropology, archaeology, economics, geography,
history, law, philosophy, political science, psychology, religion, and
sociology, as well as appropriate content from the humanities, mathematics, and
natural sciences. The primary purpose of social studies is to help young people
develop the ability to make informed and reasoned decisions for the public good
as citizens of a culturally diverse, democratic society in an interdependent
world” . (Stahl dan Hartoonian, 2003)
Sementara itu berdasarkan hasil rumusan
Forum Komunikasi II HISPIPSI di Yogyakarta (1991) dan menurut versi FPIPS dan
Jurusan Pendidikan IPS, dapat diformulasikan pengertian IPS sebagai berikut :
“Pendidikan IPS adalah penyederhanaan
adaptasi, seleksi, dan modifikasi dari disiplin akademis ilmu-ilmu sosial yang
diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis-psikologis untuk
tujuan institusional pendidikan dasar dan menengah dalam kerangka mewujudkan
tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila Pendidikan IPS adalah
seleksi dari struktur disiplin akademik ilmu-ilmu sosial yang diorganisasikan
dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk mewujudkan tujuan pendidikan
dalam kerangka pencapaian tujuan pendidikan nasional yang berdasarkan
Pancasila” Somantri,(2001:103).
Menurut Depdikbud (1994), IPS yang
diajarkan di jenjang pendidikan menengah didasarkan pada bahan kajian pokok
Geografi, Ekonomi, Sosiologi, Antropologi, Tata Negara, dan Sejarah
Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, pasal 35, menyatakan bahwa : "Setiap satuan
pendidikan jalur pendidikan sekolah, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah
maupun masyarakat harus menyediakan sumber belajar" .
Pendidikan tidak mungkin dapat
terselenggara dengan baik bilamana para tenaga kependidikan maupun para peserta
didik tidak didukung oleh sumber belajar yang diperlukan untuk penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar yang bersangkutan.
Tujuan Pembelajaran IPS di Persekolahan
Menurut Schnuncke (1988) tujuan IPS
didasarkan atas tiga karakteristik, yaitu : manusia mampu berpengetahuan, manusia
mampu mengatur kehidupannya, dan manusia mampu memelihara nilai-nilai. Atas
dasar ketiga karakteristik tersebut tujuan pengembangan mencakup tujuan :
pengetahuan (knowing), proses (doing), dan afektif (caring). Tiga tujuan IPS,
yaitu meliputi aspek : (1) pengertian (understanding) yang berkenaan dengan
pemberian latar pengetahuan dan informasi tentang dunia dan kehidupan, (2)
Sikap dan Nilai (attitudes and values), “ dimensi rasa” (feeling) yang
berkenaan dengan pemberian bekal mengenai dasar-dasar etika masyarakat yang
nantinya menjadi orientasi nilai dalam kehidupan dirinya, (3) Keterampilan
(skills), khususnya yang berkenaan dengan kemampuan dan keterampilan IPS, yaitu
meliputi keterampilan sosial, keterampilan belajar dan kebiasaan kerja, keterampilan
kelompok, dan intelektual.
Muhammad Numan Somantri
(Somantri,2001:259) mengemukakan setidaknya terdapat 4 pendapat mengenai tujuan
pengajaran IPS di sekolah ;
a.
Pendapat pertama, tujuan pengajaran IPS di
sekolah ialah untuk mendidik para siswa menjadi ahli ekonomi, politik, hukum,
sosiologi, dan pengetahuan sosial lainnya. Golongan yang diwakili oleh Charles
Keller dan Barelson (Massialas & Smith,1965:13) ini lebih menyetujui
pembelajaran IPS di persekolahan disebut dengan istilah “social sciences” daripada
istilah “social studies”
b.
Pendapat kedua, berpendapat bahwa tujuan
pengajaran IPS di persekolahan ialah untuk menumbuhkan warga negara yang baik.
Pengajaran di sekolah harus merupakan : “a unified coordinated holistic study
of men living in societies”(Hanna, 1962:63).
c.
Pendapat ketiga, merupakan kompromi dari
pendapat pertama dan pendapat kedua. Tujuan program pengajaran IPS merupakan
“simplifikasi dan distilasi dari berbagai ilmu-ilmu sosial untuk kepentingan
pendidikan” (Wesley,1964:3)
d.
Pendapat keempat, berpendapat bahwa
pengajaran IPS di sekolah dimaksudkan untuk mempelajari bahan pengajaran yang
sifatnya “tertutup” (closed area). Maksudnya ialah bahwa dengan mempelajari
bahan pelajaran yang tabu untuk dibicarakan, para siswa akan memperoleh
kesempatan untuk memecahkan konflik intrapersonal maupun antar-personal.
Muhammad Nu’man Somantri sendiri
merumuskan bahwa tujuan Pendidikan IPS pada tingkat sekolah adalah :
1.Menekankan tumbuhnya nilai
kewarganegaraan , moral, ideologi negara dan agama.
2.Menekankan pada isi dan metode berfikir
ilmuwan
3.Menekankan reflective inquiry
Media Pendidikan dan Sumber Pembelajaran
IPS
Association for Educational Communications
and Technology (AECT, 1977) menyatakan bahwa sumber pembelajaran adalah segala
sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh guru, baik secara terpisah
maupun dalam bentuk gabungan, untuk kepentingan belajar mengajar dengan tujuan
meningkatkan efektivitas dan efisiensi tujuan pembelajaran.
Sumber pembelajaran dapat dikelompokan
menjadi dua bagian, yaitu :
1.
Sumber pembelajaran yang sengaja
direncanakan (learning resources by design), Sumber pembelajaran kategori ini
memang telah disiapkan dan didesain untuk digunakan dalam pembelajaran yang
akan dilaksanakan.
2.
Sumber pembelajaran yang karena dimanfaatkan
(learning resources by utilization), yakni sumber belajar yang tidak secara
khusus didisain untuk keperluan pembelajaran namun dapat ditemukan,
diaplikasikan, dan dimanfaatkan untuk keperluan belajar.
Sumber pembelajaran yang dapat digunakan
dalam kegiatan pembelajaran IPS di persekolahan adalah dengan mengoptimalkan
media pendidikan. Media pendidikan adalah alat, metode dan teknik yang
digunakan dalam rangka lebih mengefektifkan komunikasi dan interaksi antara
guru dan siswa dalam proses pembelajarannya(Hamalik,1985:23).
Sebagai sumber pembelajaran IPS, media
pendidikan diperlukan untuk membantu guru dalam menumbuhkan pemahaman siswa
terhadap materi pelajaran IPS. Diversifikasi aplikasi media atau multi media,
sangat direkomendasikan dalam proses pembelajaran IPS, misalnya melalui :
pengalaman langsung siswa di lingkungan masyarakat; dramatisasi; pameran dan
kumpulan benda-benda; televisi dan film; radio recording; gambar; foto dalam
berbagai ukuran yang sesuai bagi pembelajaran IPS; grafik, bagan, chart, skema,
peta; majalah, surat kabar, buletin, folder, pamflet dan karikatur;
perpustakaan, learning resources, laboratorium IPS; serta ceramah, tanya jawab,
cerita lisan, dan sejenisnya (Rumampuk, 1988 : 23-27; Mulyono, 1980 : 10-12).
Dari sisi kurikulum, Standar Kompetensi
dan Kompetensi Dasar IPS menggunakan tiga dimensi dalam mengkaji dan memahami
fenomena sosial serta kehidupan manusia secara holistik. Ketiga dimensi
tersebut terlihat pada tabel berikut.
Tabel 1. Dimensi IPS Dalam Kehidupan
Manusia
Dimensi Ruang Waktu Nilai/Norma
Area dan substansi pembelajaran Alam
sebagai tempat dan penyedia potensi sumber daya Alam dan kehidupan yang selalu
berproses, masa lalu, saat ini, dan yang akan datang Kaidah atau aturan yang
menjadi perekat dan penjamin keharmonisan kehidupan manusia dan alam
Contoh Kompetensi Dasar yang dikembangkan
Adaptasi spasial dan eksploratif Berpikir kronologis, prospektif, antisipatif
Konsisten dengan aturan yang disepakati dan kaidah alamiah masing-masing
disiplin ilmu
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk
mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala
ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi
sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat.
Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah
diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai
berikut (Awan Mutakin, 1998).
1. Memiliki
kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui
pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
2. Mengetahui
dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari
ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah
sosial.
3. Mampu
menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk
menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4. Menaruh
perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat
analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5.
Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu
membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun
masyarakat.
Muhammad Nu’man Somantri sendiri merumuskan bahwa
tujuan Pendidikan IPS pada tingkat sekolah adalah :
- Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan , moral, ideologi negara dan agama.
- Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan
- Menekankan reflective inquiry
Point (a), (e) dan (f) dari SKL Mata Pelajaran IPS
cenderung berkesesuaian dengan point (1) menurut Numan Somantri yaitu
menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraa, moral, ideologi negara dan agama.
Point (b), (c) erat keselarasannya dengan point (2) menekankan pada dan metode
berfikir ilmuwan. Point (d) menekankan reflective inquiry yang Berpikir logis
dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam
kehidupan sosial ekonomi.
Dapat kita nilai bahwa tujuan pembelajaran IPS
memiliki arah yang serupa dengan teori-teori mengenai tujuan pembelajaran IPS
di persekolahan. Implementasi kurikulum pembelajaran IPS. Kurikulum Pendidikan
IPS harus memuat bahan pelajaran yang sesuai dengan tujuan institusional dan
tujuan pendidikan nasional. Di dalamnya hendaknya berisikan bahan yang
memungkinkan siswa untuk berfikir kritis.
Sebagai implikasi dari maksud dan tujuannya , maka
kurikulum Pendidikan IPS hendaknya berisikan garis-garis besar struktur
disiplin ilmu dan model perilaku manusia yang tumbuh dalam masyarakat, sehingga
isi kurikulumnya akan terdiri atas :
1. Model
inquiry, masing-masing disipliln ilmu yang terdiri atas pertanyaan-pertanyaan
pokok dan metode research setiap disipliln ilmu-ilmu sosial, psikologi dan
agama.
2. Batang
tubuh pengetahuan (body of knowledge) yang terdiri atas beberapa konsep.
Konsep-konsep psikologi, filsafat dan agama akan sangat berguna untuk
menghidupkan dan memperkuat kurikulum PIPS.
3. Generalisasi,
dari konsep-konsep dalam butir 2 tersebut, hendaknya meningkat kesukarannya
dalam bentuk generalisasi.
Martorella (1994) menekankan 9 kategori yang harus
dimasukan dalam kurikulum IPS pendidikan dasar , yakni ; expressing, producing,
transform, communicating, educating, recreating, protecting, governing, dan
creating. Di Amerika kurikulum PIPS untuk pendidikan dasar dan menengah telah
memasukan beberapa permasalahan yang sederhana mulai dari rumah, komunitas,
hingga negara dan dunia. Pendidikan IPS bukan sekedar bertujuan membuat siswa
berperilaku atau menjadi warga negara yang baik, tetapi sekaligus menjadi warga
negara yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada, sesuai dengan
tingkatannya.
Kurikulum yang diterapkan di SMK Sangkuriang 1
Cimahi pada Tahun Pelajaran 2009/2010 adalah Kurikulum yang berbasis pada
Kurikulum 2006 atau yang biasa disebut dengan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan ( KTSP ) dengan mengambil bentuk dalam Spektrum terbaru yang mulai
diadopsi pada Tahun Pelajaran 2008/2009. Sebagian dari Standard Kompetensi dan
Kompetensi Dasar (SKKD) yang diterapkan, dengan fokus terhadap mata pelajaran
IPS, adalah sebagai berikut :
Standard Kompetensi Kompetensi Dasar
1. Memahami
kehidupan sosial manusia
2. Mengidentifikasi
interaksi sebagai proses sosial
3. Mendeskripsikan
sosialisasi sebagai proses pembentukan kepribadian
4. Mengidentifikasi
bentuk-bentuk interaksi sosial
5. Memahami
proses kebangkitan nasional
6. Menjelaskan
proses perkembangan kolonialisme dan imperialisme Barat, serta pengaruh
7. ditimbulkannya
di berbagai daerah
8. Menguraikan
proses terbentuknya kesadaran nasional, identitas Indonesia, dan perkembangan
pergerakan kebangsaan Indonesia
9. Memahami
permasalahan ekonomi dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia, kelangkaan dan
sistem ekonomi 3. 1 Mengidentifikasi kebutuhan manusia
10. Mendeskripsikan
berbagai sumber ekonomi yang langka dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas
Mengidentifikasi masalah pokok ekonomi, yaitu tentang apa, bagaimana, dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi
Mengidentifikasi masalah pokok ekonomi, yaitu tentang apa, bagaimana, dan untuk siapa barang dan jasa diproduksi
11. Memahami
konsep ekonomi dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi konsumen dan produsen
termasuk permintaan, penawaran, keseimbangan harga, dan pasar
12. Mendeskripsikan
berbagai kegiatan ekonomi dan pelaku-pelakunya
13. Membedakan
prinsip ekonomi dan motif ekonomi
14. Mendeskripsikan
peran konsumen dan produsen
15. Mengidentifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan dan penawaran
16. Menjelaskan
hukum permintaan dan hukum penawaran serta asumsi yang mendasarinya
17. Mendeskripsikan
pengertian keseimbangan dan harga
18. Mendeskripsikan
berbagai bentuk pasar, barang dan jasa
19. Memahami
struktur sosial serta berbagai faktor penyebab konflik dan mobilitas sosial
20. Mendeskripsikan
bentuk-bentuk struktur sosial dalam fenomena kehidupan
21. Menganalisis
faktor penyebab konflik sosial dalam masyarakat
22. Mendeskripsikan
kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
23. Mendeskripsikan
berbagai kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
24. Mendeskripsikan
perkembangan kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
25. Mendeskripsikan
keanekaragaman kelompok sosial dalam masyarakat multikultural
26. Memahami
kesamaan dan keberagaman budaya
27. Mengidentifikasi
berbagai budaya lokal, pengaruh budaya asing, dan hubungan antarbudaya
28. Mendeskripsikan
potensi keberagaman budaya yang ada di masyarakat setempat dalam
29. kaitannya
dengan budaya nasional
30. Mengidentifikasi
berbagai alternatif penyelesaian masalah akibat adanya keberagaman budaya
31. Menunjukkan
sikap toleransi dan empati sosial terhadap keberagaman budaya
Menurut Young (Lybarger,1991) Kelompok kepentingan tersebut adalah (1)
sejarawan dan ilmuwan sosial (1920an); (2) Rekonstruksi sosial dan penentangnya
(1030-an-1950an); (3) Pengembang program dan para guru (1960 awal – 1970an) dan
(4) tradisionalis dan kelompok yang menyarankan perlunya kurikulum PIPS yang
lebih relevan tetapi lebih tersebar (1980an).
Mitos tersebut adalah: (1) masih berkutat pada studi tentang nama, fakta,
data mati dari berbagai kisah manusiadari setiap masyarakat; (2) menjemukan,
membosankan; (3) tidak praktis; (4) begitu sarat materi; (5) kurang menyentuh
realitas kehidupan masyarakat setempat; (6) sangat bersifat memorizing
terhadap isi buku teks belaka; (7) sangat teoritis tetapi tidak paham praktek;
(8) hanya menyajikan berbagai informasi, sementara siswa tidak satupun
memahaminya; (9) kurang membelajarkan keterampilan berfikir; (10) cenderung
untuk mengindoktrinasi nilai-nilai dari guru sendiri daripada “hidden
curriculum” yang ada pada diri siswa yang sebenarnya juga sarat nilai.
Melanjutkan ke bidang ilmu-ilmu sosial kurang bergengsi, merendahkan diri
dan tidak menjanjikan masa depan yang cerah. Bidang ilmu-ilmu sosial dipandang
sebagi keranjang penampungan bagi siswa yang gagal di bidang ilmu-ilmu alam dan
teknologi. PIPS dianggap kurang memberikan basis bagi siswa untuk berefleksi
kritis dalam memecahkan persoalan yang dihadapi masyarakat yang sesungguhnya
lebih diminati oleh banyak siswa, daripada hanya menghafal setumpuk
pengetahuan. (Hasan, 1996; Subianto dan Pelly dalam Al-Muchtar, 1991:7;
Kneedler, dalam Fouts, 1990:418)
DAFTAR PUSTAKA
Asmawi, Z. dan Nasution, N. (1994). Penilaian Hasil Belajar.
Jakarta: Dirjen Dikti Depdikbud.
Buchari Alma, 2007, Apa dan Bagaimana Studi Sosial
Diajarkan, Makalah pada Seminar Revitalisasi Ilmu Pengetahuan Sosial dalam
Perspektif Global, 21 Novwmbwr 2007, Bandung: Program Studi PIPS Sekolah
Pascasarjana UPI
Carin, A.A. & Sund, R.B. (1989). Teaching Science Through Discovery.
Columbus: Merrill Publishing Company.
Cavendish, S. et al. (1990). Observing Activities: Assessing Science in
the Primary Class-room. London: Paul Chapman Publishing Ltd.
Course Standards for Omaha Public Schools Required 10th
Grade Semester Course in Economics (OPS), http://ecedweb.unomaha.edu/standards/OPSstandards10.cfm
Collins,A, 1992. Potofolio for Science Education: Issues in Purpose,
Structure, and Authenticity. Science Eduducation. 76(4): 451-463.
Departemen Pendidikan Nasional. (2003). Kurikulum 2004 : Kompetensi
Standar Mata Pelajaran Sains. Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Dipdiknas, 2006, Panduan Pengembangan Silabus Mata
Pelajaran IPS SMP/Mts, Jakarta: Direktorat Pembinaan SMP.
Departemen Pendidikan Nasional. (2002). Pedoman Pengembangan Silabus.
Jakarta: DepdiknasRepublik Indonesia.
Doran, R. et al., 1998. Science Educator’s Guide to Assesment.
Virginia: NSTA
Depdiknas. 2001. Buku 1 Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan
Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
1 komentar:
kok sumber pustaka (daftar pustakanya) gak lengkap?
Posting Komentar